Di antara sekian banyak para Kuyaha (bentuk plural dari "Kiyai") PBNU dan senior di NU yang memberikan wejangan dalam rangka briefing bagi calon penerima beasiswa Magister dan Doktoral ke El-Imam Muhammad bin Saud Islamic University Riyadh-Saudi Arabia yang akan diberangkatkan beberapa saat lagi, tercatat nama seorang Ketua Syuriyah PBNU yang progresif dan kerap disebut sebagai kiyai liberal, tidak hanya oleh kalangan fundamentalis dan orang luar NU, namun bahkan tidak jarang kiyai internal NU pun menggugatnya, akibat “kenylenehan”nya.
Barangkali kita ingat ada sebuah ide ‘aneh’ yang digulirkannya terkait dengan waktu pelaksanaan haji. Bila terbuka ruang ‘berbeda’ dengan sebagian gaya praktik haji Rasulullah, seperti terkait dengan perluasan area sa'i, bahkan saat ini ada lantai bawah tanah, lantai 2 dan seterusnya. Juga terbukanya ijtihad terkait dengan waktu pelaksanaan lempar jumrah. Maka, mengapa tidak mengadakan haji dan wukuf di Arafah secara bergiliran tanggalnya, toh bulan-bulan haji itu tidak hanya bulan Dzulhijjah, tetapi asyhurun ma’lumat (pada bulan-bulan yang dimaklumi, yaitu Syawal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah). Hal ini karena melihat secara realitas, bahwa pelaksanaan beberapa wajib atau rukun haji dilakukan dalam waktu dan tempat yang bersamaan, dan ini menimbulkan banyak korban jiwa. Selain umat Islam yang hendak melakukan ibadah haji dari tahun ke tahun terus meningkat. Sehingga, kebijakan pembatasan kuota, dianggap bukan sebuah pilihan yang tepat. Tentu, ‘ijtihad’ ini ditentang banyak kalangan. "Haji saja sendiri pada luar bulan Dzulhijjah!" Tantang mereka, para kritikusnya.
Barangkali kita ingat ada sebuah ide ‘aneh’ yang digulirkannya terkait dengan waktu pelaksanaan haji. Bila terbuka ruang ‘berbeda’ dengan sebagian gaya praktik haji Rasulullah, seperti terkait dengan perluasan area sa'i, bahkan saat ini ada lantai bawah tanah, lantai 2 dan seterusnya. Juga terbukanya ijtihad terkait dengan waktu pelaksanaan lempar jumrah. Maka, mengapa tidak mengadakan haji dan wukuf di Arafah secara bergiliran tanggalnya, toh bulan-bulan haji itu tidak hanya bulan Dzulhijjah, tetapi asyhurun ma’lumat (pada bulan-bulan yang dimaklumi, yaitu Syawal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah). Hal ini karena melihat secara realitas, bahwa pelaksanaan beberapa wajib atau rukun haji dilakukan dalam waktu dan tempat yang bersamaan, dan ini menimbulkan banyak korban jiwa. Selain umat Islam yang hendak melakukan ibadah haji dari tahun ke tahun terus meningkat. Sehingga, kebijakan pembatasan kuota, dianggap bukan sebuah pilihan yang tepat. Tentu, ‘ijtihad’ ini ditentang banyak kalangan. "Haji saja sendiri pada luar bulan Dzulhijjah!" Tantang mereka, para kritikusnya.
Selain itu, Kiyai yang terkenal dengan gerakan Islam emansipatoris ini juga pernah dianggap sebagai kiyai gender, tidak setuju dengan poligami, namun belakangan, beliau sendiri melakukan praktik poligami. Entah, apa latar belakangannya? Aku tidak tahu pasti. Anda tentunya sudah meraba-raba, siapa Kiyai yang aku maksud. Tiada lain, beliau adalah Kiyai Masdar Farid Mas'udi.
Pertemuan kami siang tadi (21/1/ 2015), dilaksanakan di ruangan beliau di markas PBNU Kramat Raya. Selain membahas tentang [a] variasi dan model perilaku keberagamaan, [b] urgensi berjamaah dan berjamiyyah, dan [c] urgensi mempelajari sejarah, di pertemuan singkat yang berlangsung sekitar satu jam, dimulai pukul sebelas ini, Kiyai Masdar juga menyampaikan ‘kuliah umum’ terkait minimal dua hal yang sempat kucatat. Bahasan ilmiah yang cukup serius. Yang pertama terkait dengan politik dan ketatanegaraan Islam, dan yang kedua adalah terkait dengan zakat. Kedua hal ini memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Soal politik, beliau menjelaskan bahwa sejarah mencatat, bahwa Islam adalah agama yang sejak mula muncul telah bergumul dan tak terpisahkan dengan politik dan kekuasaan. Namun, pertanyaannya, mengapa terkait ilmu politik dan ketatanegaraan Islam, kok tidak berkembang?
“ini dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah dalam tataran realitas sejarah, praktik pemerintahan islam dilakukan secara monarkhi, melalui sistem pewarisan dan cenderung anti kritik. Kritik terhadap penguasa dianggap sebagai sebuah bentuk perlawanan, bid’ah, yang harus dibasmi. Bahkan, Imam Al-Mawardi, tatkala menulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, beliau berpesan, "buku ini jangan diterbitkan, kecuali setelah aku mati. Apa sebab? Ternyata, di antara isi buku tersebut adalah suksesi kekuasaan dilakukan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, sebuah tim yang berkompeten untuk memilih, bukan berdasarkan sistem kewarisan, turun-temurun. Sementara inilah yang terjadi pada kala itu.” Demikian sekilas yang kutangkap dari penjelasan beliau.
“Khawatir, bila buku itu diterbitkan, bukan hanya jabatan hakim beliau terancam dicabut, bahkan nyawa beliau pun bisa saja melayang.” Lanjut beliau.
Kiyai Masdar juga menjelaskan tentang urgensi bertanah air (memiliki lahan dan kekuasaan) dalam dakwah. Tidak mungkin kita akan bisa berdakwah dengan baik, bila kita hidup di udara, tidak memiliki ikatan nasionalisme di bumi ini. Kita juga tidak akan bisa tenang, bilamana kita dalam kondisi konflik, peperangan, hidup dalam kengerian. Selain itu, relitas sejarah membuktikan bahwa penguasa dunia adalah yang akan menjadi pembawa nilai peradaban. Sehingga, bila kita menjadi bangsa yang kuat, niscaya akan memimpin dunia dan pada selanjutnya akan mudah menyebarkan nilai-nilai peradaban yang baik bagi dunia. Dan, ternyata, yang kuat secara ekonomi lah yang akan menguasai. Saat Uni Sovyet kuat dan berkuasa, ideologi komunisme lah yang berkembang di dunia. Saat Amerika menguasai perekonomian, kapitalisme dan liberalisme pun yang menggurita.
Bila dikelompokkkan, lima rukun Islam itu terbagi menjadi tiga, yaitu hubungan dengan Allah, hubungan dengan pembersihan jiwa dan berhubungan dengan sesama. Terkait dengan hubungan sesama, kita mengenal negara sebagai wujud dari sebuah kontrak perjanian untuk bersyerikat dan berkumpul antara warga masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa negara tidak akan berjalan, bila tanpa adanya anggaran pendanaan, dan anggaran tidak akan berguna bila tidak ada sumber pemasukan dana. Dan, undang-undang APBN-lah yang paling seksi dan strategis untuk dilirik. Mengapa, sebab inilah jantung negara.
Selama ini, pendapatan negara adalah dari pajak. Dan, sebenarnya di dalam Islam sudah terdapat instrumen pemasukan kas, di antaranya berupa sistem zakat, yang berbasiskan pada nilai keadilan dan kesejahteraan sosial. Bila zakat ini dikelola dengan baik dan maksimal, niscaya negara akan makmur. Dalam konteks perzakatan (perpajakan), sebuah negara ibaratnya seorang amil atau lembaga amil zakat, bukan pemilik harta. Negara hanya berfungsi sebagai penarik (al-akhdzu) dan distribusi (at-tasharruf) zakat. Sementara yang terjadi di Indonesia saat ini, belanja negara lebih banyak dihabiskan untuk menggaji aparat pemerintahan. Sedangkan rakyat kecil kurang mendapatkan ruang. Padahal, dalam Islam sudah jelas terdapat delapan golongan. Namun, yang diutamakan adalah fakir dan miskin. Sedangkan ‘amil’ (petugas zakat) hanya perantara antara muzakki dan mustahiq. Bagian petugas, semestinya hanya sebatas diberi ‘uang lelah’, tentunya lebih sedikit daripada fakir-miskin. Bukan sebaliknya.
Secara pribadi, ini adalah pertemuanku dengan beliau yang ke tiga. Yang pertama dan kedua adalah di kantor P3M Cililitan Kecil. Kali pertama aku bisa bertatap muka dengan beliau secara langsung tak lama setelah aku dipertemukan dan diperkenalkan oleh takdir, yaitu ketika beliau berdua sedang mengerjakan proyek alih-bahasa buku Pak Masdar berbahasa Indonesia yang bertajuk Zakat ke dalam bahasa Arab, sekitar tahun 2010 silam.
Sebelumnya, seorang kawan aktivis FK2, Wawan, secara tiba-tiba menyodorkan sebuah kertas berisi teks berbahasa Indonesia dan memintaku untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Katanya, itu sebuah ‘sayembara’. Akan dipilih beberapa orang yang nantinya diminta mengerjakan penerjemahan sebuah buku. Dan, alhamdulillah, aku termasuk di antara mereka. Akhirnya, aku pun diminta Wawan agar datang ke Cililitan bergabung bersama kawan-kawan lainnya. Inilah kali pertama perkenalanku dengan Cak Fuad, setelah sebelumnya sempat dipertemukan dalam sebuah forum di Albayyinah Buncit Pulo bersama dengan Gus Chollil Nafis dan kawan-kawan FK2. Di kantor P3M, Pak Masdar menjelaskan secara singkat inti pemikirannya yang dituangkan dalam buku yang sudah beberapa kali naik cetak dan diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit yang berbeda-beda, juga dengan judul yang tidak sama. Terkait judul buku, pernah aku mendengar penjelasan dari Pak Masdar, sengaja diubah karena para pembaca yang kurang memahami inti pemikiran yang beliau harapkan. Menurut catatan, telah banyak karya tulis ilmiah yang mengkaji pemikiran Zakat beliau, tidak hanya skripsi dan tesis, tapi disertasi.
Pertemuan berikutnya adalah terhadap pemikiran beliau, khususnya saat mengikuti mata kuliah tentang Manajemen Zakat di kampus Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati yang diampu oleh Dr Mukhlisin Muzarie. Saat membuat makalah, aku sempat mengutip pendapat beliau dalam bukunya sebagai bahan makalah kelas tentang macam-macam mal zakawi (barang-barang yang dizakati). Tidak sekali dua kali dosen pengampu mata kuliah itu ku ini mengutip pemikiran Pak Masdar. Selain beliau adalah Prof Khozin Nasuha, yang merupakan rektor ISIF Cirebon, kerap mengutip ide-ide berani Pak Masdar di dalam perkuliahan beliau dan juga menyanjung keberaniannya. Kendatipun Pak Masdar kerap ‘dikepruki’ oleh banyak kalangan dan bahkan katanya pernah dilempar sandal dalam sebuah forum karena kenlenehan pandangannya dari status-quo yang mainstream.
Pada kesempatan siang tadi, Pak Masdar juga menjelaskan bahwa terkait dengan “batasan” dalam agama Islam terkait kebaikan, penjelasan teks syariat hanyalah batasan minimun. Artinya, boleh membayar zakat lebih dari batasan yang ditentukan. Dalam bahasa UU di Indonesia, serendah-rendahnya. Sedangkan terkait dengan hukuman (hudud), yang ada adalah batasan maksimum. Dalam bahasa UU di Indonesia, setinggi-tingginya. artinya, bisa lebih ringan daripadanya. Tapi tidak boleh melampaui batasan ini. Terkait dengan ini, Pak Masdar tidak menjelaskan lebih lanjut tentang nalar Ushul Fikihnya. Mungkin karena keterbatasan waktu.
Selain itu, terkait mal zakawi (harta yang waib dizakati) juga bisa masuk ranah ijtihad. Dahulu, di Arab ada zakat onta, lah di Indonesia kan tidak ada. Soal ini, disesuaikan dengan kondisi masa dan tempat. Secara singkat, zakat dibagi menjadi dua, yaitu zakat harta benda (mal) dan zakat fitrah (jiwa). Terkait hal ini, ada sebuah kaidah utama dalam Al-Qur’an tentang zakat yang kerap dikutip oleh Pak Mukhlisin, yaitu mimma kasabtum wa mimma akrajna lakum minal ardh (dari hasil usaha kalian dan yang kalian dapatkan dari hasil bumi).
Karena sudah cukup panjang, dan mata ini sudah terasa berat, ingin segera terpejam, cukuplah sekian dulu. Semoga bermanfaat.[]
Jakarta, 21 Januari 2015_23:
Pertemuan kami siang tadi (21/1/ 2015), dilaksanakan di ruangan beliau di markas PBNU Kramat Raya. Selain membahas tentang [a] variasi dan model perilaku keberagamaan, [b] urgensi berjamaah dan berjamiyyah, dan [c] urgensi mempelajari sejarah, di pertemuan singkat yang berlangsung sekitar satu jam, dimulai pukul sebelas ini, Kiyai Masdar juga menyampaikan ‘kuliah umum’ terkait minimal dua hal yang sempat kucatat. Bahasan ilmiah yang cukup serius. Yang pertama terkait dengan politik dan ketatanegaraan Islam, dan yang kedua adalah terkait dengan zakat. Kedua hal ini memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Soal politik, beliau menjelaskan bahwa sejarah mencatat, bahwa Islam adalah agama yang sejak mula muncul telah bergumul dan tak terpisahkan dengan politik dan kekuasaan. Namun, pertanyaannya, mengapa terkait ilmu politik dan ketatanegaraan Islam, kok tidak berkembang?
“ini dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah dalam tataran realitas sejarah, praktik pemerintahan islam dilakukan secara monarkhi, melalui sistem pewarisan dan cenderung anti kritik. Kritik terhadap penguasa dianggap sebagai sebuah bentuk perlawanan, bid’ah, yang harus dibasmi. Bahkan, Imam Al-Mawardi, tatkala menulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, beliau berpesan, "buku ini jangan diterbitkan, kecuali setelah aku mati. Apa sebab? Ternyata, di antara isi buku tersebut adalah suksesi kekuasaan dilakukan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, sebuah tim yang berkompeten untuk memilih, bukan berdasarkan sistem kewarisan, turun-temurun. Sementara inilah yang terjadi pada kala itu.” Demikian sekilas yang kutangkap dari penjelasan beliau.
“Khawatir, bila buku itu diterbitkan, bukan hanya jabatan hakim beliau terancam dicabut, bahkan nyawa beliau pun bisa saja melayang.” Lanjut beliau.
Kiyai Masdar juga menjelaskan tentang urgensi bertanah air (memiliki lahan dan kekuasaan) dalam dakwah. Tidak mungkin kita akan bisa berdakwah dengan baik, bila kita hidup di udara, tidak memiliki ikatan nasionalisme di bumi ini. Kita juga tidak akan bisa tenang, bilamana kita dalam kondisi konflik, peperangan, hidup dalam kengerian. Selain itu, relitas sejarah membuktikan bahwa penguasa dunia adalah yang akan menjadi pembawa nilai peradaban. Sehingga, bila kita menjadi bangsa yang kuat, niscaya akan memimpin dunia dan pada selanjutnya akan mudah menyebarkan nilai-nilai peradaban yang baik bagi dunia. Dan, ternyata, yang kuat secara ekonomi lah yang akan menguasai. Saat Uni Sovyet kuat dan berkuasa, ideologi komunisme lah yang berkembang di dunia. Saat Amerika menguasai perekonomian, kapitalisme dan liberalisme pun yang menggurita.
Bila dikelompokkkan, lima rukun Islam itu terbagi menjadi tiga, yaitu hubungan dengan Allah, hubungan dengan pembersihan jiwa dan berhubungan dengan sesama. Terkait dengan hubungan sesama, kita mengenal negara sebagai wujud dari sebuah kontrak perjanian untuk bersyerikat dan berkumpul antara warga masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa negara tidak akan berjalan, bila tanpa adanya anggaran pendanaan, dan anggaran tidak akan berguna bila tidak ada sumber pemasukan dana. Dan, undang-undang APBN-lah yang paling seksi dan strategis untuk dilirik. Mengapa, sebab inilah jantung negara.
Selama ini, pendapatan negara adalah dari pajak. Dan, sebenarnya di dalam Islam sudah terdapat instrumen pemasukan kas, di antaranya berupa sistem zakat, yang berbasiskan pada nilai keadilan dan kesejahteraan sosial. Bila zakat ini dikelola dengan baik dan maksimal, niscaya negara akan makmur. Dalam konteks perzakatan (perpajakan), sebuah negara ibaratnya seorang amil atau lembaga amil zakat, bukan pemilik harta. Negara hanya berfungsi sebagai penarik (al-akhdzu) dan distribusi (at-tasharruf) zakat. Sementara yang terjadi di Indonesia saat ini, belanja negara lebih banyak dihabiskan untuk menggaji aparat pemerintahan. Sedangkan rakyat kecil kurang mendapatkan ruang. Padahal, dalam Islam sudah jelas terdapat delapan golongan. Namun, yang diutamakan adalah fakir dan miskin. Sedangkan ‘amil’ (petugas zakat) hanya perantara antara muzakki dan mustahiq. Bagian petugas, semestinya hanya sebatas diberi ‘uang lelah’, tentunya lebih sedikit daripada fakir-miskin. Bukan sebaliknya.
Secara pribadi, ini adalah pertemuanku dengan beliau yang ke tiga. Yang pertama dan kedua adalah di kantor P3M Cililitan Kecil. Kali pertama aku bisa bertatap muka dengan beliau secara langsung tak lama setelah aku dipertemukan dan diperkenalkan oleh takdir, yaitu ketika beliau berdua sedang mengerjakan proyek alih-bahasa buku Pak Masdar berbahasa Indonesia yang bertajuk Zakat ke dalam bahasa Arab, sekitar tahun 2010 silam.
Sebelumnya, seorang kawan aktivis FK2, Wawan, secara tiba-tiba menyodorkan sebuah kertas berisi teks berbahasa Indonesia dan memintaku untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Katanya, itu sebuah ‘sayembara’. Akan dipilih beberapa orang yang nantinya diminta mengerjakan penerjemahan sebuah buku. Dan, alhamdulillah, aku termasuk di antara mereka. Akhirnya, aku pun diminta Wawan agar datang ke Cililitan bergabung bersama kawan-kawan lainnya. Inilah kali pertama perkenalanku dengan Cak Fuad, setelah sebelumnya sempat dipertemukan dalam sebuah forum di Albayyinah Buncit Pulo bersama dengan Gus Chollil Nafis dan kawan-kawan FK2. Di kantor P3M, Pak Masdar menjelaskan secara singkat inti pemikirannya yang dituangkan dalam buku yang sudah beberapa kali naik cetak dan diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit yang berbeda-beda, juga dengan judul yang tidak sama. Terkait judul buku, pernah aku mendengar penjelasan dari Pak Masdar, sengaja diubah karena para pembaca yang kurang memahami inti pemikiran yang beliau harapkan. Menurut catatan, telah banyak karya tulis ilmiah yang mengkaji pemikiran Zakat beliau, tidak hanya skripsi dan tesis, tapi disertasi.
Pertemuan berikutnya adalah terhadap pemikiran beliau, khususnya saat mengikuti mata kuliah tentang Manajemen Zakat di kampus Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati yang diampu oleh Dr Mukhlisin Muzarie. Saat membuat makalah, aku sempat mengutip pendapat beliau dalam bukunya sebagai bahan makalah kelas tentang macam-macam mal zakawi (barang-barang yang dizakati). Tidak sekali dua kali dosen pengampu mata kuliah itu ku ini mengutip pemikiran Pak Masdar. Selain beliau adalah Prof Khozin Nasuha, yang merupakan rektor ISIF Cirebon, kerap mengutip ide-ide berani Pak Masdar di dalam perkuliahan beliau dan juga menyanjung keberaniannya. Kendatipun Pak Masdar kerap ‘dikepruki’ oleh banyak kalangan dan bahkan katanya pernah dilempar sandal dalam sebuah forum karena kenlenehan pandangannya dari status-quo yang mainstream.
Pada kesempatan siang tadi, Pak Masdar juga menjelaskan bahwa terkait dengan “batasan” dalam agama Islam terkait kebaikan, penjelasan teks syariat hanyalah batasan minimun. Artinya, boleh membayar zakat lebih dari batasan yang ditentukan. Dalam bahasa UU di Indonesia, serendah-rendahnya. Sedangkan terkait dengan hukuman (hudud), yang ada adalah batasan maksimum. Dalam bahasa UU di Indonesia, setinggi-tingginya. artinya, bisa lebih ringan daripadanya. Tapi tidak boleh melampaui batasan ini. Terkait dengan ini, Pak Masdar tidak menjelaskan lebih lanjut tentang nalar Ushul Fikihnya. Mungkin karena keterbatasan waktu.
Selain itu, terkait mal zakawi (harta yang waib dizakati) juga bisa masuk ranah ijtihad. Dahulu, di Arab ada zakat onta, lah di Indonesia kan tidak ada. Soal ini, disesuaikan dengan kondisi masa dan tempat. Secara singkat, zakat dibagi menjadi dua, yaitu zakat harta benda (mal) dan zakat fitrah (jiwa). Terkait hal ini, ada sebuah kaidah utama dalam Al-Qur’an tentang zakat yang kerap dikutip oleh Pak Mukhlisin, yaitu mimma kasabtum wa mimma akrajna lakum minal ardh (dari hasil usaha kalian dan yang kalian dapatkan dari hasil bumi).
Karena sudah cukup panjang, dan mata ini sudah terasa berat, ingin segera terpejam, cukuplah sekian dulu. Semoga bermanfaat.[]
Jakarta, 21 Januari 2015_23: