Adzan pertama
Jumat telah dikumandangkan. Bergegas, para hadir yang sedari tadi khusyuk
menyimak, menjawabnya dan berdoa setelahnya, hampir serentak berdiri untuk
shalat sunnah. Ini amaliah khas kaum Nahdliyyin. Ini merupakan shalat sunnah qabliyah jumat. Bagi sebagian kalangan, ini
bisa jadi akan disebut sebagai amaliyah
bid'iyyah. Sebab, konon, Nabi saw dan para sahabat, generasi utama umat ini
tidak pernah melakukannya. Sementara setiap ibadah harus ada contoh dan
pendahulunya. Jika demikian, benarkah ini bid'ah?
Masalah ini,
menurutku, paling tidak bisa dijawab dengan dua hal berikut:
Pertama, shalat ini diqiyaskan dengan shalat qabliyah Zhuhur. Dalam hal ini memang terjadi selisih pandangan antar para ulama. Ada yang melarang. Ada pula yang membolehkan. Masing-masing punya landasan dalilnya. Romi, dalam "Al-Qiyas fi Al-Ibadah..." (2010) menyebutkan sejumlah contoh qiyas dalam ibadah pada zaman Nabi saw (hlm. 96), yaitu ijtihad 'Amr yang mengkiyaskan tayamum dalam hadats besar dengan hadats kecil, qiyas aulawi hutang haji dengan hutang harta, qiyas kumur-kumur dengan mencium istri pada siang hari puasa. Selain itu, sejumlah sahabat juga menggunakan qiyas dalam ibadah sepeninggal Nabi saw. Seperti Ummu Athiyyah ra bab haid (HR. Al-Bukhari), Ibnu Umar dalam hal usapan tangan saat tayammum dg wudhu (HR. Ad-Daruquthni), dlsb..
Pertama, shalat ini diqiyaskan dengan shalat qabliyah Zhuhur. Dalam hal ini memang terjadi selisih pandangan antar para ulama. Ada yang melarang. Ada pula yang membolehkan. Masing-masing punya landasan dalilnya. Romi, dalam "Al-Qiyas fi Al-Ibadah..." (2010) menyebutkan sejumlah contoh qiyas dalam ibadah pada zaman Nabi saw (hlm. 96), yaitu ijtihad 'Amr yang mengkiyaskan tayamum dalam hadats besar dengan hadats kecil, qiyas aulawi hutang haji dengan hutang harta, qiyas kumur-kumur dengan mencium istri pada siang hari puasa. Selain itu, sejumlah sahabat juga menggunakan qiyas dalam ibadah sepeninggal Nabi saw. Seperti Ummu Athiyyah ra bab haid (HR. Al-Bukhari), Ibnu Umar dalam hal usapan tangan saat tayammum dg wudhu (HR. Ad-Daruquthni), dlsb..
Kedua, shalat tersebut diniatkan shalat sunnah mutlak.
Pada
dasarnya, shalat sunnah merupakan ibadah yang dianjurkan kapan saja, kecuali
pada waktu-waktu yang diharamkan. Toh, itu bukan waktu yang diharamkan. Lagi
pula, tidak selalu shalat sunnah itu bernama. Sebagaimana shalat sunnah dua
rakaat yang dilakukan Nabi saw ketika menghadapi suatu masalah. Sebagian orang
menyebutnya dengan shalat hajat. Namun, bila suka, bisa saja kita menyebutnya
shalat [anti] galau. Begitu juga dengan shalat Bilal, yaitu shalat dua rakaat
yang dilakukan sahabat Rasul ini setiap kali usai berwudhu. Sebagian dari kita
menyebutnya dengan shalat sunnah wudhu. Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam shaum (puasa). Ada puasa sehari, berbuka
sehari. Kita kerap menyebutnya puasa Dawud. Karena ini puasa yang biasa
dilakoni Nabi Dawud as. Teruskan sendiri, masih banyak contohnya.
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam