Adzan kedua Jumat telah dikumandangkan. Temponya lebih cepat
daripada yang pertama. Sebelumnya, sang muadzin kedua yang konon disebut muraqi
ini membacakan (tepatnya melantunkan) teks sebuah hadits riwayat Abu Hurairah
ra dengan berbahasa Arab, hadits tidak asing lagi bagi para santri dan ahli
hukum Islam.
عن أبي هريرة رضي الله عنه،
قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((فإذا صعد الخطيب على المنبر فلا يتكلم، وإذا قلت
لصاحبك "أنصت" والإمام يخطب فقد لغوت، ومن لغا فلا جمعة له)). أنصتوا
واسمعوا وأطيعوا! رحمكم الله.
Demikian kira-kira bunyi Hadits tersebut. Ia memuat tentang adab
Jumat, khususnya terkait dengan menyimak khutbah. Bila khatib telah naik
mimbar, diamlah, menengo, sumpelen cucukmu, jangan bicara. Siapa
yang bicara, sia-sialah shalat jumatnya. Pun, yang bilang,"diam!"
pada kawannya yang bicara, sama saja, sia-sia. Begitu kira-kira terjemahan
bebasnya.
Seremoni semacam ini kerap kita temui di masjid-masjid kaum
tradisional di Indonesia (baca: NU). Memang, dalam sejarah hukum Islam di Arab
sana, hal semacam ini tidak ditemukan. Boleh jadi, bagi sebagiab kalangan, ini
dianggap bid'ah. Karena termasuk bagian dari ibadah, sehingga tak boleh ada
penambahan. Lain halnya dengan ulama NU yang memandangnya sebagai ibadah ghair
mahdhah. Memang, shalatnya ibadah mahdhah, tapi khutbahnya, selain mahdhah juga
mengandung maqashid. Sehingga dahulu pun terjadi perdebatan apakah boleh
berkhutbah dengan selain bahasa Arab, sementara jamaah tidak paham bahasa
arab?
Ritual pembacaan hadits tersebut, menurutku hanya sebatas
tradisi, kearifan, yang bukan bagian dari ibadah mahdhah, sementara
tujuan yang ingin dicapai (maqashid) sangat mulia. Yaitu tanbih,
memberi peringatan kepada para jamaah agar menyimak khutbah, tidak sibuk dengan
hal lain.
Hanya saja, yang menjadi catatan adalah, ternyata hadits tersebut
tampaknya tidak dipahami oleh sebagian besar jamaah, sebab berbahasa Arab.
Semestinya, bila tidak dianggap sebagai ibadah mahdhah, pembaca juga
menyertakan terjemahannya, agar para jamaah bisa ambil manfaatnya dan
mencernanya dengan baik. Sehingga tercapailah tujuan dari pembacaan hadits
tersebut.
Karena kurang adanya kontekstualisasi, maka yang terjadi adalah
seperti tadi siang. Di sampingku, tepat, seorang pemuda masih asyik BBMan,
sementara khatib berkhutbah. Selain itu, seorang separuh baya, duduk di
beberapa shaf di hadapanku, masih asyik memutar tasbihnya. Dan dua orang juga
masih asyik berbincang santai, tanpa merasa berdosa..
Sementara Nabi saw bersabda," Siapa yang sia-sia, tiada
shalat jumat baginya." Dalam hadits lain, disebutkan:
من مس الحصاة فقد لغا
"Siapa yang memainkan kerikil, sia-sialah shalat ia".
Bila diterjemahkan dengan konteks termutakhir menjadi:
"Siapa yang ngelus-elus batu akiknya, sia-sialah
jumatnya.."
Sehingga, apapun yang menyibukkan dari menyimak khutbah, kecuali
hal-hal tertentu yang diperbolehkan, seperti mengaminkan doa, dsb. Maka, hal
itu dilarang. Kalau dahulu memainkan kerikil dan tasbih, maka pada zaman modern
ini, kerikil itu bisa berupa hp, fb, bbm, whatsAp, game, path, line, wa'alihi
wa ashabihi ajmain.
Semoga berguna. wallahu a'lam.
Cirebon, 20/02/2015