Wednesday, February 25, 2015

Catatan Jumat (bagian 2)

Adzan kedua Jumat telah dikumandangkan. Temponya lebih cepat daripada yang pertama. Sebelumnya, sang muadzin kedua yang konon disebut muraqi ini membacakan (tepatnya melantunkan) teks sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra dengan berbahasa Arab, hadits tidak asing lagi bagi para santri dan ahli hukum Islam.
عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((فإذا صعد الخطيب على المنبر فلا يتكلم، وإذا قلت لصاحبك "أنصت" والإمام يخطب فقد لغوت، ومن لغا فلا جمعة له)). أنصتوا واسمعوا وأطيعوا! رحمكم الله.
Demikian kira-kira bunyi Hadits tersebut. Ia memuat tentang adab Jumat, khususnya terkait dengan menyimak khutbah. Bila khatib telah naik mimbar, diamlah, menengo, sumpelen cucukmu, jangan bicara. Siapa yang bicara, sia-sialah shalat jumatnya. Pun, yang bilang,"diam!" pada kawannya yang bicara, sama saja, sia-sia. Begitu kira-kira terjemahan bebasnya.
Seremoni semacam ini kerap kita temui di masjid-masjid kaum tradisional di Indonesia (baca: NU). Memang, dalam sejarah hukum Islam di Arab sana, hal semacam ini tidak ditemukan. Boleh jadi, bagi sebagiab kalangan, ini dianggap bid'ah. Karena termasuk bagian dari ibadah, sehingga tak boleh ada penambahan. Lain halnya dengan ulama NU yang memandangnya sebagai ibadah ghair mahdhah. Memang, shalatnya ibadah mahdhah, tapi khutbahnya, selain mahdhah juga mengandung maqashid. Sehingga dahulu pun terjadi perdebatan apakah boleh berkhutbah dengan selain bahasa Arab, sementara jamaah tidak paham bahasa arab? 
Ritual pembacaan hadits tersebut, menurutku hanya sebatas tradisi, kearifan, yang bukan bagian dari ibadah mahdhah, sementara tujuan yang ingin dicapai (maqashid) sangat mulia. Yaitu tanbih, memberi peringatan kepada para jamaah agar menyimak khutbah, tidak sibuk dengan hal lain.
Hanya saja, yang menjadi catatan adalah, ternyata hadits tersebut tampaknya tidak dipahami oleh sebagian besar jamaah, sebab berbahasa Arab. Semestinya, bila tidak dianggap sebagai ibadah mahdhah, pembaca juga menyertakan terjemahannya, agar para jamaah bisa ambil manfaatnya dan mencernanya dengan baik. Sehingga tercapailah tujuan dari pembacaan hadits tersebut.
Karena kurang adanya kontekstualisasi, maka yang terjadi adalah seperti tadi siang. Di sampingku, tepat, seorang pemuda masih asyik BBMan, sementara khatib berkhutbah. Selain itu, seorang separuh baya, duduk di beberapa shaf di hadapanku, masih asyik memutar tasbihnya. Dan dua orang juga masih asyik berbincang santai, tanpa merasa berdosa..
Sementara Nabi saw bersabda," Siapa yang sia-sia, tiada shalat jumat baginya." Dalam hadits lain, disebutkan:
من مس الحصاة فقد لغا
"Siapa yang memainkan kerikil, sia-sialah shalat ia".
Bila diterjemahkan dengan konteks termutakhir menjadi:
"Siapa yang ngelus-elus batu akiknya, sia-sialah jumatnya.."

Sehingga, apapun yang menyibukkan dari menyimak khutbah, kecuali hal-hal tertentu yang diperbolehkan, seperti mengaminkan doa, dsb. Maka, hal itu dilarang. Kalau dahulu memainkan kerikil dan tasbih, maka pada zaman modern ini, kerikil itu bisa berupa hp, fb, bbm, whatsAp, game, path, line, wa'alihi wa ashabihi ajmain.
Semoga berguna. wallahu a'lam.

Cirebon, 20/02/2015

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...