Para ahli fikih tempoe doeloe (baca: salaf) dalam sepakat tentang kebolehan poligami bagi suami yang mampu adil. Mereka tak mensyaratkan adanya ijin dari sang istri pertama.
Sehingga, bisa dikatakan, menurut para ulama "salaf", ijin istri bukan keharusan dan syarat sah poligami.
Komentar saya: Poligami itu tidak satu hukumnya. Ia bisa berubah hukumnya sesuai dengan kondisi. Poligami bisa mubah, bisa sunnah, bisa makruh, bisa wajib, dan bahkan bisa haram, tergantung kondisi. Berlakulah teori transformasi fatwa ala Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah, bahwa suatu produk hukum bisa berubah sesuai dengan niat, kondisi, ruang, waktu dan tradisi yang melingkupi.
Memang, ijin bukan syarat sah dalam poligami, namun ia sebuah "syarat" kesakinahan, kelanggengan cinta kasih dan keutuhan rumah tangga.
Bila tidak, bisa jadi rumah tangga akan menjadi "surga" yang tak dirindukan. Ilmu fikih an sich tak cukup untuk menjawab soal ini. Karena rumah tangga bukan soal hak-kewajiban saja, tapi ada soal adab bersosial, serta ada kemaslahatan yang kudu dipertimbangkan.
Rumah tangga itu ibarat bahtera. Bila kita mau memasukkan penumpang baru dalam bahtera, hendaknya kita sampaikan kepada penumpang lama. Bila semua rela, lanjutkan. Bila tidak, satu dari penumpang lama bahtera akan minta turun di satu bandar. Bahkan, bisa jadi bahtera kan tenggelam, secara cepat atau perlahan, karena secara diam² bahtera dilubanginya.
Belum lagi kita bicara soal sejarah poligami Rasulullah saw Sang teladan kita. Bagaimana kronologi dan kondisinya. Poligami perlu ditinjau dari sisi antropologi.
Selain itu, sisi psikologi juga perlu kita pertimbangkan. Karena poligami itu bicara wanita. Bicara wanita adalah bicara perasaan yang kudu dipahami dan dimengerti.
Belum lagi kita bicara konteks di Indonesia, dimana hukum perdata di sini, poligami harus melalui persetujuan istri. Bila tidak, kantor catatan sipil tidak akan mengakui, atau KUI tidak bisa keluarkan Akta Nikah. Dan ini berdampak pada status istri dan anak-anaknya di mata hukum. Pun soal hak perdata mereka, nasab si anak dlm akta, nafkah, warisan, dan lain sebagainya.
Dalam kebanyakan kasus poligami, wanita selalu yang terzalimi. Paling tidak, perasaannya. Wallahu a'lam. Tapi, ngomong-ngomong, satu hal yang tersisa, ente sudah nikah belum?
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar