Oleh: Masyhari
Belakangan ini, kasus intoleransi
dan terorisme berbasis radikalisme-eksklusifisme beragama marak terjadi. Data
yang cukup mengejutkan, ternyata tak jarang dari kalangan mahasiswa dan dosen
malah terpapar intoleransi dan radikalisme ini. Padahal, semestinya kalangan
akademisi dan intelektual kampus (perguruan tinggi) lah yang menjadi agen
penggerak dan pionir moderasi. Sebab, di kampus mahasiswa diajarkan dan
dibimbing oleh dosen cara berpikir ilmiah dan filosofis.
Di kampus, tradisi berdiskusi
disemarakkan, baik di perkuliahan dalam ruang kelas maupun sekedar kongkow di
warung kopi pinggir jalan. Dalam setiap mendiskusikan suatu permasalahan, tentu
ada saja perbedaan dan perselisihan pandangan. Hal ini karena perbedaan
perspektif, sudut pandang dan latar belakang masing-masing orang. Perbedaan
pandangan kadang terjadi antar mahasiswa, antara penyaji makalah pengantar
diskusi dengan audien, terkadang beda pandangan di antara audien. Tak jarang
pula, mahasiswa berbeda pandangan dengan dosen pengampu matakuliah. Demikianlah
dinamika yang ada. Silahkan berbeda! Sebab itu wajar dan niscaya. Utarakan
pendapat. Yang terpenting, perkuat dengan argumentasi dan dalil-buktinya. Perbedaan pandangan dan pendapat
disikapi dengan arif dan saling menghargai satu sama lainnya.
Dalam perkuliahan yang saya ampu,
fikih kontemporer dan perbandingan mazhab, sengaja saya munculkan materi
tentang "toleransi antarumat beragama". Maka, isu-isu teranyar dan
segar pun sengaja saya munculkan di ruang diskusi kelas antar mahasiswa.
Misalnya saja isu penyegelan rumah ibadah penganut kepercayaan lain, sebut saja
Ahmadiyah misalnya. Isu lainnya, tentang hukum bekerja di rumah ibadah agama
lain (semisal gereja), hukum memberikan izin pendirian rumah ibadah agama lain,
dan sebagainya.
Tentunya, pada
pertemuan-pertemuan awal, mahasiswa sudah dibekali dengan adab diskusi, sebab
perbedaan pendapat di kalangan ulama, sejarah beda pendapat dari zaman awal
Islam hingga masa kini, dan bagaimana sikap yang semestinya dalam perbedaan
pendapat.
Mahasiswa saya biarkan berdiskusi
dan terlibat dalam perdebatan, tentunya dipandu oleh seorang mahasiswa yang
ditunjuk sebagai moderator, selaku pengatur jalannya diskusi. Bilamana diskusi
mulai kurang kondusif, maka tugas dosen sebagai penengah, menenangkan keadaan.
Dalam diskusi soal membantu
pendirian rumah ibadah agama lain, misalnya. Saya lemparkan pertanyaan,
"Bila saja di kampungmu akan didirikan gereja, dengan izin lengkap dari
RT, RW, pemerintah, Kemenag, dan sudah ber-IMB. Lantas Anda selaku warga diminta
bantuan oleh panitia berupa tenaga, pikiran atau dana, sementara Anda mampu.
Apa yang Anda lakukan?"
Bagi yang menjawab tidak mau
membantunya, saya tanyakan alasannya. Katanya, ini bagian dari urusan agama.
Membantu mendirikan gereja sama saja dengan tolong-menolong dalam kemusyrikan
(ta'awun alal itsmi). "So, hukumnya berdosa, dong?" lanjut tanya
saya. "Iya," jawabnya.
"Lah, apa nanti panitia tidak
merasa tersinggung?"
"Kan bisa sampaikan seribu
satu alasan. Entah lagi sibuk lah, atau yang lainnya. Bisa juga kita jelaskan
argumentasi ideologis saya, Pak." jawabnya.
Tak jarang pula yang jawab,
"Saya akan bantu tenaga, beri sumbangan dana, dan saya kirimkan jajanan
untuk para pekerjanya. Khususnya bila diminta."
"Nanti kamu kira-kira dapat
pahala atau dosa?" tanya saya.
"Pahala in sya Allah, Pak.
Kan ini bagian dari membantu dalam kebaikan. Tolong-menolong dalam urusan
dunia."
"Lah, kamu kan ikut
mendirikan sarana kesyirikan?" lanjut saya memancing.
"Ini kan menurut agama saya.
Kalau menurut agama mereka, itu kan ibadah. Jadi, menolong orang beribadah kan
dapat pahala. Kalau saya ikut ritual agama mereka, lain cerita. Kan
tidak!" jawabnya mantap.
Selain argumentasi itu, ada pula
yang beberkan pandangan para ulama, baik klasik maupun kontemporer, dengan
mengkontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia. "Iya, ada yang
melarangnya. Namun, kalau melihat konteks Indonesia yang plural dan heterogen,
kita kedepankan toleransi dan saling menghormati."
**
Maka, yang jadi pertanyaan
sekarang, apa sebenarnya yang melanda sejumlah kampus negeri kita? Konon,
banyak mahasiswa dan bahkan dosennya sampai terpapar radikalisme dan kasus
intoleransi. Bisa jadi, mereka yang berbasis pendidikan umum (baca: non agama),
sehari-harinya belajar ilmu biologi, fisika, teknik, dsb, lantas belajar agama
Islam lewat kajian-kajian keislaman tematik pekanan, berbasis ceramah, baik
offline maupun online, dengan guru yang tidak bervariasi pandangan. Sehingga,
yang diketahui dan yang dipahami berupa fikih dianggap sebagai syariah, sebuah
kebenaran tunggal. Hal berbeda dengan kebenaran yang diyakininya dianggap
salah. Sebab, kebenaran tidak mendua, katanya.
Tampaknya, fikih perbandingan
mazhab, diskusi, fikih toleransi, ushul fikih, tarikh tasyri' dan maqashid
syari'ah perlu diajarkan pula di kampus-kampus umum negeri, bukan hanya ajaran
agama dalam satu pendapat dan mazhab. Wallahu a'lam
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar