Oleh: Masyhari
Tidak sedikit yang bilang, menulis itu sulit, sesulit move on, meninggalkan kenangan indah masa silam bersama mantan. Menulis itu berat, katanya, seberat menjalin hubungan dengan jarak jauh (ldr), berjauhan dengan ia yang tersayang. Abot, gaes.
Mematahkan asumsi tersebut banyak penulis yang bilang bahwa menulis itu mudah, semudah ngobrol. Tujuannya untuk memotivasi dan menghidupkan semangat menulis mereka yang hampir putus asa. Mengapa kemudahan mengobrol jadi bahan perumpaan? Bisa jadi karena kebanyakan orang merasa mudah sekali ngobrol ngalor ngidul, ke sana ke mari, tanpa beban dan hambatan, bahkan kadang lupa waktu. Kacang goreng dan kopi di hadapan tak terasa sampai habis, namun obrolan terus berlanjut, tak jua berujung. Sementara menulis, kerap kali satu dua menit saja sudah terasa lelahnya, mandeg, selanjutnya apa dan bagaimana.
Dengan begitu, menulis bila dilakukan seperti sedang mengobrol maka menulis akan terasa ringan, tanpa beban. Karena itu, bila kita menulis seperti sedang curhat, maka tulisan kita akan begitu mudah teralirkan, kata demi kata akan terangkai dengan begitu mudahnya.
Bahkan, tidak hanya itu, menurut Ahmad Rifai Rifan penulis buku best seller, dalam bukunya bertajuk Super Writer, mengatakan bahwa dalam menulis jangan terlalu pusing mikirin tata bahasa dan bahasa baku ataukah tidak. Jangan pula berpikir tulisan kita bagus ataukah tidak. Yang lebih penting menulis. Menulislah seperti kita sedang ngobrol, tanpa beban. Sebab, kalau kita mikirin tulisan kita bagus atau tidak, kita akan urung nulis. Setelah selesai menulis, baru kita lakukan proses editing.
Jujur, saya sendiri tertarik membeli buku tersebut selain karena judulnya, juga karena melihat penulisnya yang buku-bukunya rerata best seller. Akan tetapi, ketika baca isi bukunya, ternyata bukunya sependek amatan amatir saya, tulisan-tulisan di dalamnya sangat-sangat biasa. Yang luar biasa, setiap kali membaca satu judul tulisan di dalamnya, saya malas melanjutkan bacaan saya. Saya tutup dan ingin menuliskan banyak ide yang ada di kepala. "Tulisan begini saja bisa jadi buku, dan best seller. Massak saya tidak bisa!" kata saya dalam hati.
Penulis lain yang patut dijadikan teladan yaitu Gus Rijal Mumazziq Zionis. Saya begitu menikmati tulisan-tulisannya. Tulisannya begitu apik mengalir layaknya aliran air bengawan Solo. Tampak dari sederet tulisannya berisi obrolan atau dialog ringan, cerita sarat hikmat dan pelajaran. Tulisan-tulisan sang rektor muda INAIFAS ini kebanyakan dipenuhi dengan kisah-kisah, entah nyata, pilem India, ataupun fiksi belaka. Dari kisah-kisah tersebut, Gus Rijal menebarkan ragam pelajaran tanpa menggurui. Bila Anda ingin menulis dengan bagus dan renyah, saya rekomendasikan untuk membaca tulisan-tulisannya. Wallahu a'lam bisshawab.
Griya Literasi, 21 November 2019
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar