Kegiatan menulis tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Dengan tulisan manusia bisa mengabadikan hidupnya, sebab jatah usia hidup manusia terbatas. Dengan adanya karya tulis yang dihasilkan, hidup manusia menjadi abadi. Alhasil, karya tulis merupakan nyawa tambahan yang “diciptakan” manusia sendiri dari hasil usahanya.
Dikutip dari sejarah.id, bahwa tulisan merupakan batas lorong waktu antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah. Zaman sejarah ditandai dengan dikenalnya tulisan di kalangan umat manusia. Tulisan era sejarah awal ditemukan di prasasti-prasasti, berupa ukiran di bebatuan.
Zaman sebelumnya disebut zaman prasejarah, disebut juga dengan zaman nirleka yang berarti tidak ada tulisan. Peristiwa atau kejadian pada masa itu tidak diabadikan dengan rekaman tulisan, sehingga generasi setelahnya tidak mengetahui detail peristiwa pada masa itu, kecuali melalui penemuan fosil dan tulang-belulang.
Dalam sejarah Islam, khususnya, tulisan memiliki tingkat urgensi yang tinggi. Berbagai cabang dan bidang ilmu pengetahuan, tidak hanya di bidang keagamaan semisal akidah, akhlak, tasawuf, fikih, ushul fikih, dan lain sebagainya, bahkan ilmu eksakta dan sosial semisal sejarah (tarikh), astronomi (falak), kedokteran (ath-thibb), farmasi (shaidalah), kimia, sastra, matematika (riyadhiyyat), dan lain sebagainya dicatat dengan rapi oleh para pakarnya, sehingga kita generasi setelah mereka dapat menikmati dan mempelajari ilmu-ilmu tersebut dan mengembangkannya hingga kini.
Karya-karya tersebut semacam literature review, pustaka yang amat berharga bagi proses penulisan karya-karya selanjutnya, sebut saja misalnya Ibnu Sina (Avicenna), menulis Al-Qanun fi Ath-Thibb-nya, sebuah karya monumental dalam bidang kedokteran. Dalam bidang Ushul Fiqh, ada Imam Asy-Syafi’i dengan Ar-Risalah yang dituliskan melalui tangan santrinya Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, serta Al-Umm karyanya dalam bidang fikih.
Bagi kita, umat Islam khususnya sungguh beruntung, dahulu selain dihafalkan, Al-Qur’an juga dituliskan di berbagai media, mulai dari pelepah kurma, lontaran kayu, hingga tulang-belulang. Tidak terbayangkan bagaimana seandainya dahulu ayat-ayat tersebut tidak dituliskan?
Sejarah penulisan Al-Qur’an berlanjut pada masa Abu Bakar. Ketika para sahabat penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur di medan perang Yamamah (tahun 12 H), Umar bin Al-Khattab mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar, agar mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang berserakan itu dan mengkodifikasikannya dengan berbagai rijwayat yang ada.
Puncaknya, pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau melakukan semacam penyuntingan, verifikasi dan validasi terhadap riwayat yang ada. Selanjutnya, mushaf Utsmani itu disalin dan disebarkan ke sejumlah wilayah yang ada.
Demikianlah sekilas kisah proses perjalanan panjang bagaimana mushaf Al-Quran terbukukan, mulai dari goresan huruf demi huruf, kata demi kata, ayat demi ayat, surat demi surat, verifikasi, pembukuan, penyalinan hingga penyebaran.
Hal ini bisa kita analogikan pada proses panjang menghasilkan sebuah karya tulis pada era kini. Dengan konsisten dan penuh komitmen seorang penulis merangkai kata demi kata, satu demi satu, hingga tersusun kalimat. Dari kalimat terangkai sebuah alinea dalam satu topik.
Selanjutnya tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diverifikasi mana yang layak dan mana yang kurang. Pada tahapan selanjutnya yaitu proses editing (penyuntingan). Bila sudah matang, tulisan dicetak, diperbanyak, diterbitkan dan terakhir didistribusikan kepada para pembacanya.
Begitu pula dengan Hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bisa kita bayangkan bagaimana seandainya sabda (qaul), tindakan (fi’l) dan keputusan (taqrir) beliau tidak diriwayatkan, lantas dituliskan dan dibukukan oleh para pakar. Tentunya, kita tidak akan bisa membacanya hingga saat ini. Demikianlah tingkat urgensitas tulisan bagi kehidupan umat Islam khususnya, dan umat manusia pada umumnya.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa, selaku insan akademis yang terdidik, setiap hari berkutat di bangku perkuliahan?
Mau tidak mau, sebagai generasi penerus kehidupan, kita harus bergerak cepat membawa tongkat estafet transmisi ilmu pengetahuan dengan aktif menulis, aktif di dunia literasi. Di kampus, aktifitas tulis-menulis tidak mungkin dapat dilepaskan. Kita tahu dan sadar betul bahwa tugas-tugas kampus tidak terlepas dari kegiatan literasi; baca dan tulis. Setiap matakuliah yang merupakan perwujudan dari ilmu yang kita pelajari berupa tulisan dan kita diharuskan untuk mengerjakan tugas-tugas penulisan dan penelitian, dalam rangka mengais dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Karena itu, menghasilkan karya tulis menjadi satu syarat sesorang bisa memperoleh gelar kesarjanaan, berupa skripsi di level sarjana (S1), tesis di level magister (S2) dan disertasi di level doktoral (S3).
Hanya saja, dalam tataran realita karya tulis ilmiah yang dihasilkan mahasiswa –baik artikel, makalah, maupun skripsi-, tidak jarang ditemukan semacam plagiarisme, copas (copy paste) dari tulisan karya orang lain. Copas yang dimaksud, paling parah dengan menduplikasi karya orang lain dan mengakuinya sebagai karyanya, sedikit ataupun banyak. Bentuk minimalnya, dengan mengutip tulisan orang lain dengan jumlah banyak secara langsung hingga berhalaman-halaman apa adanya, menyalin dan menempelkannya saja, tanpa melakukan parafrase, menyesuaikan bahasa penulis asal dengan gaya bahasanya sendiri.
Lantas, apa faktor penyebabnya? Bagaimana pula upaya atau solusi untuk meminimalisirnya?
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadi plagiarisme di kalangan mahasiswa. Berikut ini disebutkan beberapa faktor internal yang ditengarai sebagai penyebab maraknya plagiarisme karya. Mungkin faktor lainnya masih ada lagi.
Pertama, kurangnya minat membaca
Membaca adalah aktivitas menyerap informasi dari sumber tertulis, mencerna dan memahaminya secara utuh. Ketika seseorang malas membaca, maka besar kemungkinan ia minim informasi yang bisa dituangkan ke dalam tulisannya. Kalaupun membaca, tapi tidak dicerna dan dipahami dengan baik, maka ia pun hanya menyalin dan menempelkannya.
Solusi yang ditawarkan, dengan membiasakan diri membaca. Bagi dosen pengampu matakuliah apa saja, bisa menugaskan mahasiswa membaca satu buku tuntas secara cermat dan memahaminya, dimulai dari satu paragraf ke paragraf selanjutnya, dari satu bab ke bab berikutnya, kemudian memintanya menjelaskan kepada kawan-kawannya. Setelah khatam, ia ditugaskan membaca buku lainnya, dan seterusnya. Dengan begitu, dia mulai terbiasa membaca dan menikmati tradisi membaca, meskipun awalnya terpaksa.
Kedua, tidak terbiasa menulis
Kata ahli kebijaksanaan, “Ala bisa karena terbiasa”. Seorang mahasiswa melakukan copas, ketika saya tanya mengapa, dia menjawab karena [merasa] tidak bisa merangkai kata atau merasa tidak percaya diri dengan tulisan yang dihasilkan dari rangkaian kata-katanya sendiri. Hal itu disebabkan karena ia belum memiliki tradisi menulis.
Sejatinya, dalam menulis jam terbang menentukan kualitas. Bila jarang menulis, jari-jemari tangan akan terasa berat merangkaikan kata demi kata, menuangkan ide dan pikiran. Tulisan yang dihasilkan pun tidak enak dibaca.
Hal ini berbeda dengan mereka yang jam terbang menulisnya sudah tinggi, setiap hari menulis, maka kata demi kata akan mudah terangkai dan kalimat demi kalimat terkoneksi dengan rapi, sehingga enak dibaca dan mudah dipahami pembacanya.
Solusi mengatasi problem ini kita harus membiasakan diri menulis setiap hari. Seorang dosen bisa memberi tugas lanjutan, setelah mahasiswa membaca, menceritakan dan mempresentasikan hasil bacaannya, ia diminta menuliskan tulisan sederhana apa yang dipahami dari bacaannya dengan redaksi bahasa mahasiswa sendiri. Satu buku diperas menjadi satu hingga tiga halaman saja. Ini semacam jurus mengikat makna yang dipopulerkan oleh Hernowo.
Selain itu, dosen bisa pula memberikan tugas menulis resume, semacam catatan perkuliahan atau diskusi yang dilaksanakan setiap pertemuan. Dosen memberikan cukup waktu sekitar 15 menit terakhir jelang ditutupnya perkuliahan kepada mahasiswa untuk menulis sekitar setengah atau satu halaman, atau sekitar 5 alinea, berkaitan seputar topik materi perkuliahan.
Solusi berikutnya, dalam momentum ujian, baik UTS maupun UAS, dosen memberikan soal uraian, mahasiswa diminta menjelaskan suatu persoalan secara argumentatif yang memaksanya untuk mengeluarkan pendapatnya.
Solusi lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu dosen dan mahasiswa membuat komitmen menulis setiap hari. Setiap hari menghasilkan satu tulisan, bebas, apa pun tema dan genrenya.
Ketiga, tidak menguasai teknik penulisan atau pengutipan.
Kerap terjadinya kesalahan, karena seorang mahasiswa kurang memahami dan menguasai teknis penulisan dan teknis sitasi (pengutipan) yang baik.
Seorang penulis karya ilmiah semestinya tidak hanya sebatas menyusun kutipan-kutipan dari penulis sebelumnya, akan tetapi menganalisis, menginterpretasikan, menyimpulkan, mengkomparasikannya dengan pendapat pakar lain, dan bisa mengomentari, menanggapi atau bahkan mengkritiknya. Kutipan tidak langsung lebih diutamakan. Sementara kutipan langsung sebaiknya dihindari, kecuali terpaksa, semisal teks-teks suci Al-Quran atau Hadis, ataupun manuskrip yang harus dituliskan apa adanya.
Solusinya, dosen harus sabar membimbing dan mengarahkan mahasiswa bagaimana menulis dan mengutip yang baik. Ia berikan berbagai macam contoh tulisan yang memuat kutipan. Berikan simulasi pelatihan secara intensif dan berkelanjutan bila diperlukan.
Sebenarnya, masih banyak faktor penyebab lainnya dan bisa kita carikan solusi atas problem-problem tersebut. Sehingga, insan akademis kita bisa menghasilkan karya yang kreatif, bukan hanya copast dan plagiasi dari karya orang sebelumnya. Semoga.
Cirebon, 26 Maret 2020
* Penulis adalah sekretaris PC ISNU Kabupaten Cirebon (2018-2022), dan dosen di STAI Cirebon dan IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
No comments:
Post a Comment
Jangan lupa komentar