Berawal dari sebuah pesan singkat
Wajah langit kampung pesantren Babakan siang itu sedikit
diselimuti mendung. Hari sabtu itu tidak seperti sabtu biasanya. Aku tidak
bertugas di kampus, sebab sedang libur tanggal merah. Setelah istirahat siang,
ponselku yang tergeletak di atas meja lipat itu berbunyi, “tuing”. Tampaknya,
ada sebuah pesan masuk via inbox ‘messenger’.
“Kang, saya dapat undangan menjadi juri
pidato bahasa Arab di SMA Al-Azhar 5 Cirebon. Acaranya besok. Saya tidak bisa
memenuhinya, karena ada kegiatan lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Bila
berkenan dan punya waktu luang, Njenengan bisa menggantikan saya.”
Begitu kira-kira isi pesan dari seorang kawan. Secara tiba-tiba
tawaran itu datang. Dan setelah dialog dan mendapatkan penjelasan beberapa hal
terkait acara, saya pun mengiyakan.
Keesokan harinya, mentari pagi tampak begitu
cerah. Ia mulai menampakkan cahayanya dari ufuk timur, saat jarum jam di
dinding menunjuk pukul 6 tepat. Sepertinya ia sedang menyambutku hangat dan
penuh suka cita. Mendung hitam yang kemarin memadati petala langit tampaknya
sengaja menyingkir, menuju peristirahatanya. Seakan mempersilahkanku untuk
menyambut pagi dengan penuh ceria. Hari itu aku berangkat pagi-pagi, sebab
katanya acara akan dimulai sekitar pukul 8 pagi. Pukul 7:35 alhamdulillah saya
sudah di tempat untuk persiapan dan memahami petunjuk teknisnya.
Sampai di arena perlombaan, aku bertemu
dengan juri lainnya. Saat itu, ada dua juri lagi selainku. Salah satunya dari
luar sekolah tersebut. Sambil menunggu dimulainya acara, kami terlibat perbincangan
ringan, sekedar perkenalan dan seputar aktifitas sehari-hari.
“Ana Ahmad Musyaffa’.” Dengan berbahasa Arab fasih kawan ini
memperkenalkan diri.
Saat ini, kawan yang mengaku sudah memiliki tiga anak ini tinggal di
Kedawung-Cirebon, tidak jauh dari tempat kami sedang duduk berbincang. Katanya, dekat dengan rumah ustadz Abu Khoiruddin,
koordinator Qiraati cabang Cirebon. Putra pertamanya, yang kini berusia 4,5
tahun bersekolah di TKQ milik ustadz Abu Khoiruddin.
Kawan ini alumni Gontor dan S1 Al-Azhar
Mesir. Sempat ia melanjutkan kuliah S2 di sana, namun di akhir tahun kedua, ia
pulang, karena kondisi Mesir saat itu sedang berkecamuk. Tak lama setelah itu,
ia mengambil kuliah S2 di Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon prodi PAI,
dan lulus tahun 2013, setahun sebelum kelulusanku di kampus yang sama. Setelah
lulus, ia diminta Bapak Sumanta Hasyim untuk menjadi asdosnya, dan sampai saat
ini ia mengajar sepekan sekali di IAIN Cirebon. Ia cukup kenal akrab dengan
Bapak Sumanta setelah tesisnya dibimbing oleh doktor yang saat ini menjabat
sebagai Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Kronologi yang sedikit sama dengan
kisahku saat masuk ke PPB (Program Pengembangan Bahasa) di IAIN tersebut.
Doktor ini juga yang menjadi salah satu pembimbing tesisku.
Selain itu, menurut pengakuan kawannya,
seorang guru SMA al-Azhar 5 Cirebon yang mengundangnya menjadi juri, ustadz
Musyaffa’ ini adalah ketua KNRP (Komisi Nasional untuk Rakyat Palestina)
perwakilan Cirebon. Ia termasuk kader PKS, dan istrinya saat ini bertugas
sebagai anggota DPRD kabupaten Cirebon dari fraksi PKS.
Ternyata, dunia ini sempit ya...
Lebih lanjut, setelah aku memperkenalkan diri bahwa aku dari Lamongan,
kawan ini langsung antusias. Dari wajahnya tersirat senyum ringan dan tampak
ingin bertanya lebih lanjut.
“Lamongan mana?” Tanya kawan ini, semakin
penasaran.
“Paciran.” Jawabku, sambil tanda tanya di dalam hati, ada apa
gerangan yang membuatnya cukup antusias.
“Paciran mana? Saya punya keluarga di
Paciran. Tepatnya di Kranji.”
“Ya. Bahkan, saya dari desa itu.” Jawabku. Setelah aku tanyakan
siapa yang dimaksud, ia menjawab,
“Itu, yang punya pesantren Tarbiyatut Tholabah yang diasuh Syekh
Muhammad Baqier Adelan.”
“Lah, saya alumni pesantren itu. Bahkan dari TK hingga Aliyah saya
sekolah di sana.”
“Kenal Ulin Nuha? Ia teman saya sewaktu kuliah di Al-Azhar Mesir.”
“Oh, kenal. Dia kakak kelas saya di sana.” Balasku.
Mendengar pengakuannya, aku pun ikut antusias
untuk melanjutkan obrolan. Apalagi, hingga pukul 8:30 acara belum juga dimulai,
panitia masih menunggu semua peserta berkumpul di arena perlombaan. Dan, saat
itu acara baru dimulai sekitar pukul 09, ada satu jam kami berbincang.
Kawan ini, dengan bahasa Arab fasih
menjelaskan bahwa Mbah Kyai Mushthofa pendiri pesantren Tarbiyatut Tholabah itu
putra Mbah Yai Abdul Karim Tebuwung, Dukun, Gresik. Selain Kyai Musthofa, Kyai
Abdul Karim memiliki beberapa putra dan putri, di antaranya bernama Kyai
Murtadho. Begitu pengakuannya seingatku. Kyai Abdul Karim adalah pendiri
pesantren Al-Karimi Tebuwung. Sementara Kiyai Musthafa hijrah ke Kranji, Kyai
Murtadho tetap di Tebuwung dan selanjutnya menjadi pengasuh pesantren Al-Karimi
sepeninggal abahnya.
Kawan yang kutemui ini adalah keturunan Mbah
Yai Murtadho bin Abdul Karim, Tebuwung. Mendengar pengakuannya, aku langsung
terperanjat,
“Subhanallah, idzan sauqabbil
yadak (tampaknya, aku harus mencium tanganmu).” Ujarku sambil bercanda,
dengan hati berbunga.
Setelah melakukan penelusuran via internet,
aku mendapati informasi bahwa Mbah Kyai Abdul Karim Tebuwung ini terlahir di
desa Drajat Paciran, dari pasangan KH. Abdul Qohhar dan Nyai Sarwilah. Kyai
Abdul Karim dua kali menikah, dari istri pertama terlahir Kyai Zaid (Tebuwung),
Kh. Ishaq (Pendiri Pesantren Sidodadi Surabaya) dan Nyai Halimun Nur. Sementara
dari istri yang kedua, terlahir KH. Musthofa (pendiri
Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji), Nyai Alimah, Nyai Muthiah, Nyai Zainab, KH. Murtadlo
, penerus Pengasuh Pondok Pesantren Al Karimi). Awalnya,
pesantren Al-Karimi dikenal dengan Pondok Bendo, karena terletak di hutan
bendo, Tebuwung. Nama “al-Karimi” ini diambil dari nama ayah nama pendirinya yang pertama kali.
Ternyata dunia sempit sekali. Tak dinyana,
aku bertemu dengan tetangga di acara yang sama sekali tidak aku rencanakan sebelumnya. Ya, sebagai juri pengganti
mempertemukanku dengan salah seorang keluarga Pesantren tercinta, di kota
Cirebon ini. Kupikir, di Cirebon ini masih jarang orang Lamongan-Gresik yang
berkecimpung di dunia akademik. Memang banyak warga Lamongan yang tinggal di
Cirebon, bahkan hampir di setiap desa di Cirebon ini ada orang Lamongan. Namun,
mereka berprofesi sebagai pedagang warung tenda Pecel Lele, yang setiap sore
hingga malam mangkal di kanan kiri jalan raya sepanjang Kabupaten dan Kota
Cirebon. Bahkan, menurut seorang pedagang Pecel Lele yang pernah kusinggahi,
sudah ada organisasi semacam koperasi yang beranggotakan para pedagang
pendatang dari Lamongan yang tinggal di Wilayah III Cirebon (Kota Cirebon,
Kabupaten Cirebon, Kab. Kuningan, Kab. Indramayu dan Kab. Majalengka).
Ya, dunia ini terasa sempit. Kerap, kita
mencari sesuatu ataupun orang, lama sekali, bertahun-tahun, tak jua kita
temukan rimbanya. Namun, terkadang tanpa kita cari, bahkan rencanakan
sebelumnya, peristiwa dan kejadian hebat terjadi begitu saja, sebagai sebuah
suratan takdir yang di luar batas kemampuan manusia. Allah lah yang memiliki
dan menguasai takdir itu. betapa banyak manusia yang telah berusaha mencari
calon pasangannya menikah, namun ia jua tak mendapatinya. Namun, sebaliknya,
ada seorang yang sedang santai, hanya bersiap diri, tiba-tiba datang seorang
Kyai, ustadz atau dermawan yang menawarinya untuk dinikahkan dengan anaknya.
Banyak pula pasangan suami-istri yang telah
berusaha dan berdoa agar diberikan keturunan. Namun, sekian tahun lamanya,
mereka belum jua diberikan karunia anak. Seakan, pucuk usaha dan doa telah
dikerahkannya. Sebaliknya, banyak orang yang baru saja menikah, beberapa bulan
sudah positif hamil istrinya. Lancar dan subur sekali, kata orang. Bahkan
hingga mereka ikut KB untuk menyiasati jarak kelahiran. Meskipun tak
jarang ada yang masih juga kebobolan. Begitulah takdir, rahasia. Manusia hanya
mengusahakan dan berdoa. Selanjutnya, tawakkal, berserah diri kepada-Nya.
Selain melalui kejadian-kejadian semacam di
atas, dunia sekarang ini sebagaimana kita semua tahu semakin sempit, dengan
keberadaan teknologi modern, internet dan smartphone dengan segala aplikasi
cerdasnya. Globalisasi, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Berbeda kondisinya
dengan beberapa tahun silam, sebelum ada hape, sms, sementara akses internet
masih terbatas di kota-kota besar saja.
Dunia ini luas, loh...
Kita sering menyebut dunia ini sempit. “Ternyata, dunia ini sempit, ya!”
Seperti yang kusebut di atas. Namun, ternyata lain dengan ibarat yang
diungkapkan oleh Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa bumi ini luas, “Mereka
berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah di
dalamnya.” (QS An-Nisa [4]: 97).
Lantas, mana yang benar dan yang salah?
Menyikapi suatu hal di dunia ini, tak jarang ada di antara kita yang langsung
menghukumi hitam-putih, benar-salah, lurus-sesat, surga-neraka, dan lain
sebagainya. Padahal, ada perspektif lain yang bisa dipakai untuk melihatnya.
Ya, kacamata untuk mendamaikan dan menguraikan sesuatu agar tidak saling
berhadap-hadapan dan bertikai. Ahli hukum Islam dan ilmu Hadits kerap
menyebutnya dengan istilah al-jam’u wa at-taufiq (memadukan dan
mendamaikan). Memang, secara kasat mata berbeda dan bertentangan. Namun, bila
mau diperhatikan dan direnungkan untuk dicarikan titik lain dan solusi dalam
rangka mendamaikan, ternyata ada saja. Langkah memadukan harus diutamakan dan
didahulukan, sebelum langkah lainnya. Begitu kaidahnya. Tentu ini bila
memungkinkan. Bila pun tidak bisa, dalam titik tertentu. Di titik lain pasti
ada poin yang bisa mempertemukan. Begitulah. Sebab memang dunia diciptakan
dengan perbedaan. Tak ada yang sama persis di muka bumi ini. Tujuannya adalah
untuk saling mengenal, memahami, dan akhirnya saling toleransi. Dialog dan
tutur sapa bisa ditempuh untuk ini.
Selain itu, teori relativitas bisa juga
dipakai untuk membaca hal ini. Dunia, dalam satu perspektif bisa menjadi
sempit, dan dalam perspektif lain bisa jadi luas. Bagi sebagian orang, dunia
ini terasa sempit, dan bagi sebagian yang
lain, ia terasa luas. Karena itu, dalam ayat lain Al-Qur’an menyebutkan,
“Dan atas ketiga orang yang ditangguhkan,
shingga tatkala dunia terasa sempit bagi mereka, padahal sejatinya bumi itu
luas nan lapang, dan terasa sempit pula diri mereka (akibat tekanan
psikologis)...” (QS At-Taubah : 118)
Memang, makna sempit-luas dalam ayat ini agak
berbeda rasa dan maksud dengan sempit-luas dalam
pernyataan sebelumnya. Yang satu secara lahiriyah dan maknawiyah (bathiniyyah).
Namun, yang hendak digarisbawahi dari ayat tersebut yaitu tentang relatifitas
bumi. Bagi sebagian orang, yang sedang berduka, gundah gulana dan galau
menghadapi problematika, goncangan kehidupan dan krisis, dunia ini terasa
sempit, seakan tembok besar berdiri kokoh memagari sekelilingnya. Padahal
sejatinya, bumi Allah yang bisa ditapaki dan cakrawala kehidupan yang bisa
dijajaki teramat luas. Sehingga, manusia bisa mencari tempat lain yang lebih
sesuai dan layak baginya, mendapatkan solusi yang membuatnya keluar dari
krisis. Ada jalan atas setiap masalah. Setelah kesulitan, ada kemudahan. Bila
ada jalan untuk berseteru, tentu ada pula jalan untuk bersatu-padu.
Dalam sebuah pernikahan, perbedaan malah
menjadi syarat sahnya pernikahan. Pernikahan sama (jenis) jelas dilarang dan
bahkan terlaknat. Perbedaan sifat dan kecenderungan antara pasangan juga sebuah
keniscayaan. Kesamaan sifat dan kesukaan bukan pula sebuah tanda kecocokan dan
kejodohan antara pasangan. Bahkan, perbedaan inilah yang semakin memperkuat
ikatan, tentu dengan saling mengenali, memahami dan menghargai masing-masing
perbedaan. Diskusi dan perbincangan akan mencairkan suasana yang terkadang
tegang. Dan, akhirnya sempit ataukah luas, itu tergantung sudut
pandang. Wallahu a’lam.
Cirebon, 23 Maret 2015