Monday, March 9, 2015

Aku Akan Tetap Menulis

Aku akan tetap menulis,
meski aku tak bisa menulis


Aku akan menulis,
meski tulisanku tak layak dikatakan tulisan

Aku kan tetap menulis,
meski banyak yang mencibir tulisanku

Aku kan tetap menulis,
meski (sepertinya) tak ada lagi waktu untuk menulis.

Aku kan tetap menulis,
meskipun (seandainya) menulis dilarang

Karena kini
aku sadar, 
aku tidak akan bisa menjadi penulis yang baik
kalau tidak memulai dari yang amburadul

Sebab,
menulis bukan bakat
sejak lahir yang sudahlah didapat
Tidak pula diwariskan secara genetif

Menulis itu kreatif
diwariskan dengan latihan 
juga pembiasaan..
Mari menuliskan ide gagasan
kenangan juga pengalaman,
Bila nanti kita mati
sejarah kan mengenang
dengan tinta emas nama kita terukirkan

isy kaatiban au mut maktuuban
Cirebon, 7 Maret 2015

Tuesday, March 3, 2015

Korupsi dan Demokrasi

Catatan Koplak: Catatan lawas

Karena demokrasi adalah gambaran singkat dari pemerintahan rakyat. Segalanya berpulang pada rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka, duit dari rakyat dikorupsi, oleh aparat korup yang juga bagian dari rakyat. Juga, untuk menyejahterakan keluarganya yang bagian dari rakyat. Jadi, korupsi sesuai dengan nafas democrazy. Dan, selanjutnya, didemo oleh rakyat. Akhirnya, para koruptor dikeroyok rame-rame oleh rakyat.

Demonstrasi adalah efek dan buah dari demokrasi, sementara main hakim sendiri adalah pengamalan dari penyelaman nilai-nilai demokrasi (yang disalahpahami). Karena semua tergantung rakyat. Sementara mereka tak percaya lagi pada aparat. Maka, ketika ada koruptor, lebih baik diserahkan kepada rakyat, alias dikeroyok rame-rame. Hahahaha
Kranji, 17 Juli 2005

Wajah Ibu Kota

Oleh: Masyhari

Jakarta, bagiku wajahnya sungguh mengerikan. Betapa tidak? Bukan hanya kemacetan yang bukan lagi terasa aneh. Kendatipun, hingga saat ini, tiada seorang pun yang benar-benar merasa nyaman atau tentram dengannya. Di saat panas menyengat, sekujur badan bercucuran keringat, sementara ia di dalam jebakan kemacetan jalan raya. Tak hanya itu, polusi asap kendaraan bermotor pun sangat mengganggu nafas.

Jakarta, begitulah kondisi jalanannya, macet, asap dan keringat. Dan, lebih miris lagi, kesenjangan sosial dan ketidakmerataan pembangunan.

Terkait kemacetan, sampai hari ini, mungkin Pemda sudah berusaha menanggulanginya. Mulai dari kebijakan 3 in 1, kawasan khusus kendaraan berpenumpang tiga orang atau lebih pada pagi jam berangkat kerja dan sore hari, jam pulang kerja, hingga peningkatan jumlah infrastruktur jalan raya, jalan layang, jalan tol dalam kota, dan pada akhirnya mono rel pun mulai dikerjakan pembangunannya. Mungkin, itu juga bagian dari usaha pemerintah untuk menanggulangi kemacetan. Ya, usaha tinggallah usaha. Kenyataan tak dapat dihindarkan. Sebab, semakin hari, kemacetan kian parah. Menurut hematku, aturan tersebut kurang efektif, meskipun ada pengaruh positifnya, meskipun tidak segnifikan. Namanya juga usaha. Dan, itu patut diapresiasi dan disambut baik oleh masyarakat.

Bila dicermati, akar dasar penyebab kemacetan, biang keroknya, adalah meningkatnya jumlah kendaraan pribadi, yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah penghuni Jakarta. Hal ini disebabkan oleh pesatnya angka kelahiran dan melonjaknya angka urbanisasi. Yang kedua ini berpengaruh pada membludaknya warga tak resmi, gembel-gembel jalanan, pengamen bus kota, pedagang asongan dan kaki lima [ilegal].

Lantas, apa korelasi antara kemacetan dan ketidakteraturan penduduk kota? Keduanya, sangat menganggu ketertiban, mengakibatkan kesemrawutan, dan ketidaknyamanan akan muncul akibat keduanya. Pada akhirnya, pemerintah pun membuat kebijakan pengusiran dan penggusuran.

Kemudian, apa solusianya? Karena, sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas, sumber utama kemacetan adalah meningkatnya kuantitas kendaraan (mobil) pribadi yang mondar-mandir memadati jalanan, maka solusi yang tepat, menurut penulis adalah (pertama) dibuat peraturan pemerintah atau regulasi untuk membatasi pemelian atau kepemilikan kendaraan (mobil-motor) pribadi. Misalnya, setiap keluarga dibatasi hanya boleh memiliki satu mobil, dan kalaupun memang sangat darurat, sehingga harus punya dua, harus melalui izin, dan ini pun dilakukan dengan ketat. Selain itu, pemerintah atau pemegang kebijakan, harus melakukan upaya peningkatan kuantitas kendaraan umum dan kualitas pelayanannya, sehingga warga masyarakat merasa nyaman dalam berkendara, baik itu kereta api ataupun bus kota.

Selain itu, (ketiga) tentunya peran dan kesadaran masyarakat dalam membantu mengurangi kemacetan sangat penting, dengan mentaati peraturan yang dibuat, dan lebih mengutamakan bepergian menggunakan kendaraan umum daripada pribadi.

Fenomena lain yang tidak kalah membuat gatal di dalam otak adalah membludaknya jumlah anak jalanan, di setiap sudut jalan kota, di dalam bus kota dan lampu merah, anak jalanan menadahkan tangan, pengamen kecil yang tak sempat nikmati indahnya bermain dan manisnya dunia pendidikan. Keadaan lah yang menuntut mereka untuk mengamen atau menggembel, dalam rangka mempertahankan hidup. Yaitu melakukan sesuatu yang bisa dilakukan, tanpa panjang pikir dan pertimbangan. Untuk sesuap nasi, rela mempertaruhkan diri. Demi sekeping uang receh, rela terkena oceh. Alasan untuk biaya sekolah pun kerap terucap dari bibir mereka atau mereka tuliskan dalam lembaran amplop sebagai “proposal” untuk para penumpang bus kota yang berpolusi itu.

Lantas, di manakah tangan-tangan orang kaya yang dermawan? Mengapa mereka tak terjamah oleh yayasan-yayasan sosial, oleh para milyuner dan pengusaha besar? adakah mereka sudah tidak bisa merasakan ganjilnya dan ketidakseimbangan kehidupan ini? Di manakah departemen kesejahteraan rakyat? Di manakah presiden?! Saat kampanye engkau umbar janji-janji dan kepalsuan, dalam pidato yang berapi-api. Di mana anggota DPRD yang telah dipilih oleh rakyat?

Kebijakan yang selama ini dilakukan untuk alasan ketertiban dan keindahan dari aparat pemerintah adalah penggusuran dan pengusiran warga ilegal, tak punya izin resmi, meskipun mereka sudah bayar ‘upeti’ untuk oknum dari pemerintah. Mengapa mereka tidak ditempatkan pada lokasi khusus dan dibuatkan tempat tinggal dan berusaha yang layak. Toh, mereka juga warga negara Indonesia. Namun, yang tak habis pikir, mengapa masih juga banyak penduduk desa yang datang berduyun-duyun ke ibu kota, tanpa berpikir panjang, hanya modal nekat (mbonek), dan nyali besar. Padahal untuk hidup di kota, itu saja tidak cukup. Hidup di ibu kota, apalagi, harus punya tempat tujuan yang sudah jelas dan bisa menjanjikan hidup layak. Selain itu, punya ilmu “fikih” Jakarta adalah senjata ampuh untuk bisa bertahan dan memenangkan kerasnya pertempuran di medan laga Jakarta, peperangan yang penuh dengan ketegangan dan kebrutalan. Pertempuran yang menghasilkan antara kesejahteraan atauhkah kematian.

(Ditulis di Jakarta pada 19 Mei 2005 dalam bus Metromini 75 Blok M - Pasar Minggu. Ditulis ulang di Cirebon, 03/03/2015)

Monday, March 2, 2015

Metamorfosa

Anak Ulat


Anak kecil
Bagaikan ulat
Suka bikin gatal
Menggerogoti dedaunan
Bila ia lelah dan puas, ia kan tenang rahat

Jadilah ia antung, kepompong
Tak lama, kita kan dapati ia makhluk yang elok rupawan
kupu-kupu dinamakan
Bak burung, tanpa paruh
Beraneka warna menawan
Terbang, kepakkan sayap berkelokan
Sihir mata memandang kekaguman
terpana hati tajam
Inilah metamorfosa kehidupan
Proses di dalam sabda alam
harus dilalui dan dinikmati
Menuju kebaikan, pasti

Ah, andai kita bisa bersabar sedikit
Yang tampak serupa penyakit
begitu gatal gemaskan
kan jadi hiasan
peneduh sukma
penetram jiwa raga

Tak ada yang instan
tak ada yang sia diciptakan
sebagaimana telah difirmankan
Tuhan tak malu buat satu perumpamaan
hewan sekecil nyamuk 
pun lebih rendah dari padanya

Ada pelajaran yang bisa diambil darinya
Segala yang dicipta
ada guna dan hikmah dikandungnya
hatta setan dan kejahatan
dicipta tuk suatu tujuan

Cirebon, 20/03/2015

Friday, February 27, 2015

Cak Cholil Nafis Sampaikan Wejangan untuk Kader NU


Jumat malam Sabtu tadi (23/01/2015), di sebuah griya di Mampang Prapatan hadir seorang Kiyai muda yang wajahnya sudah familiar, karena beberapa tahun terakhir ini ia cukup sering muncul di televisi swasta di negeri ini. Ia adalah Cak KH. Cholil Nafis, Ph.D. Saat ini bertugas sebagai dosen dan sekretaris Program PPSTT-UI, Wakil Ketua LBM-NU, anggota BWI dan anggota MUI. Berikut ini catatan yang penulis sarikan dari wejangan yang disampaikannya kepada beberapa kader muda NU penerima beasiswa studi magister dan doktoral di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh KSA, yang akan berangkat awal Pebruari 2015.

Oleh: Masyhari



Apa yang Cak Cholil Nafis sampaikan tersarikan pada tiga poin besar, yaitu pertama, menata niat, kedua metode mencari ilmu, dan ketiga bagaimana ilmu diterapkan. Berikut uraian penjelasannya:

Pertama, pertanyaan besar sebelum kita melangkah adalah untuk apa dan siapa? Adakah untuk mencari ilmu dan dalam rangka mengharap ridha Allah SWT, ataukah networking, bahkan hanya sekedar formalitas ijazah (sertifikat) dan titel (pengakuan), agar nantinya bisa mendapatkan 'tempat' yang lebih layak secara duniawi? Niat ini perlu ditata dengan baik, agar nanti di sana bukannya belajar dan menyibukkan diri dengan mejelis ilmu dan diskusi ilmiah, malah sibuk bertransaksi dengan agen travel. Pulang dari sana, untung-untungan bisa rampung kuliah, kalau tidak?, malah asyik menjadi staf kedutaan, agen travel dan penerjemah, tidak mau balik ke tanah air.

Terlalu rendah jika kita jauh-jauh ke Riyadh- Saudi Arabia hanya demi kepentingan pribadi. Kita niatkan, nanti selepas lulus, kita abdikan diri kita pada umat, masyarakat, menjadi akademisi dan ilmuan. Menjadi yang bermanfaat bagi umat manusia (anfa'uhum lin nas)..

Tambahan: Lebih baik menjadi kepala semut, daripada menjadi ekor singa. Lebih baik menjadi pimpinan di intitusi kecil yang mandiri, daripada menjadi staff di lembaga besar. Sebesar apapun tokoh dan lembaga yang kita tebengi, tetap saja staff.

Kedua, terkait dengan metode atau teknisnya. Kuliah di Saudi masih sebatas pada teks literal, sehingga cukup dengan membaca dan meringkasnya. Agar mudah terserap dengan baik, teks-teks yang panjang kita simpelkan dengan maping (kerangka pemetaan) pembahasan secara terstruktur. 

Model kuliah yang tekstual-literal semacam ini tidaklah cukup menjadi bekal dalam menghadapi tantangan di masa depan (khususnya) di Indonesia dan dunia Internasional. Karena itu, kegiatan diskusi-diskusi luar kampus perlu diaktifkan dan pada saat liburan panjang (1-3 bulan) bisa ke luar negeri untuk melakukan pengembaraan ilmiah; ke Belanda, Jerman, Perancis, dsb. Minimal ke Maroko, Mesir, Tunisia, dsb. Atau bila pulang ke Indonesia, dirancang secara bersama untuk dilakukan pelatihan, misalnya bekerjasama dengan NU Circle, dsb. Penguatan jaringan juga akan tercipta dengan bersilaturrahmi.

Ketiga, ini adalah soal pengemasan, branding. Ilmu yang berhubungan dengan agama tidak melulu berbicara soal akhirat, semata. Pengkotak-kotakan ilmu dunia-akhirat perlu, bahkan harus, kita kikis. Kita kembalikan ilmu pada khittahnya, universalitasnya. Ilmu yang tampaknya hanya soal ibadah itu bisa kita branding dengan lebih menarik, sehingga diminati masyarakat.


Ilmuan itu layaknya apoteker. Banyak obat-obatan bertebaran di apotik. Namun, kita sediakan dan pilihkan obat sesuai dengan kebutuhan, jenis penyakit, dosis takaran dan usia pasien.

العلم شيء والتعليم شيء آخر

Artinya, ilmu adalah sesuatu hal, sementara metode mengemas ilmu adalah sesuatu yang lain.

Jangan sampai, yang mumpuni, ahli qur'an dan bahkan ahli kitab, tertinggal jauh sama muallaf dan baru ngerti agama kemarin sore, yang bahasa Arab saja tak bisa. 
Memang, input ilmu yang besar dan mendalam adalah sebuah kebaikan, namun itu saja tidak cukup, namun harus mengerti bagaimana ilmu itu bisa diterima dan diminati oleh khalayak masyarakat. Kita perhatikan kondisi masyarakat, mereka butuh apa? Faktor yang mempengaruhi keberhasilan, intelektualitas hanya berkisar 20 %. Selebihnya adalah bagaimana membangun kecerdasan emosional.

Selain itu, kita cari dan masuki segmen-segmen yang masih belum banyak dijamah. Pintar agama dan kitab kuning di dalam tubuh NU banyak. Sehingga, kalau kita bertahan di sana, yang terjadi adalah sikut-sikutan dan berantem dengan sesama. Kita keluar, nanti akan lebih berguna. Mahir baca kitab kuning adalah hal yang biasa di dalam NU. Tapi, bila kita ke 'luar', kita akan menjadi laur biasa dan lebih berguna.

Wallahu a'lam.
Jakarta, 24/01/2015


“Wejangan” Kang Sa’dun

“Wejangan” Kang Sa’dun

Berikut ini sebagian dari isi ‘wejangan’ yang dituturkan oleh Kang Dr. Sa'dun S. Afandi, kemarin tanggal 22/01/2015 di Rumah Singgah di Mampang Jakarta Selatan untuk para kader NU calon penerima beasiswa Pasca sarjana di Riyadh-KSA yang akan berangkat awal bulan Pebruari 2015.
Pertama, ada sebuah kisah yang patut dijadikan pelajaran: Shahibul hikayat adalah seorang Mahasiswa Indonesia di Mesir. Ia merupakan kawan Gus Dur sewaktu di sana. Saat Gus Dur menjadi sekretaris PPI Mesir, kawan ini lah yang menjadi ketuanya. Selain kuliah, kawan ini berbisnis. Dalam bidang ini, ia terbilang sukses dan kaya. Hingga punya rumah, bahkan 5 mobil. Suatu waktu ia tertarik dengan gadis Mesir dan akhirnya menikah dengannya. Sang istri meminta agar asetnya, harta-harta kekayaannya diatasnamakan istrinya dan setelah punya beberapa anak sebagian lagi di atasnamakan mereka. Alasannya untuk kemudahan mengurus administrasi. Sebab, di Mesir, bila menggunakan nama Mesir akan lebih mudah mengurusnya. Berbeda bila yang punya atas nama orang non-Mesir. Waktu pun berjalan. Setelah anak-anak mereka telah dewasa dan memasuki bangku kuliah, ternyata sang suami yang aseli Madura ini ditendang. Seluruh harta kekayaannya diambil sama istri, keluarga dan anak-anaknya.
Beberapa tahun setelahnya, sekitar tahun 1998, Gus Dur ke Mesir dan menemuinya, menawarkannya untuk kembali ke Indonesia. "Pulanglah. AKU AKAN MENJADI PRESIDEN. Kamu mau jadi apa, silahkan pilih!" Tawar Gus Dur.
Namun, kawan ini masih enggan pulang dan memilih bertahan di Mesir, meskipun ia terlunta-lunta, singgah dan menginap dari kontrakan satu mahasiswa yunior satu ke kontrakan mahasiswa lainnnya.
Dari kisah tersebut bisa diambil beberapa pelajaran, di antaranya:
-       Jangan sampai melirik dan tertarik untuk menggaet gadis Arab, khususnya Mesir, dan bisa jadi hampir sama berlaku bagi Arab lainnya (illa man rahima rabbuhu). Banyak di antara mereka, sampai saat ini menganggap orang 'Ajam (non-Arab) lebih rendah kastanya daripada mereka. Non-Arab dianggap sebagai bangsa pembantu (khususnya Asia tenggara), budak, kasta sudra lah) oleh mereka. Meskipun ini kasuistis, dan kesimpulannya masih prematur, asumtif-hipotetik dan cenderung generalisasi. Namun, bisa jadi kasus semacam ini banyak terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali. Yang terpenting adalah, kita ambil pelajaran sebagai sikap preventif, kehati-hatian.
-       Tampaknya, Gus Dur sudah dapat ‘info’ dari bisikan alam gaib bahwa tak lama lagi akan menjadi presiden. TterTop of Form
Kedua, tahun lalu, program beasiswa kader NU ke Saudi gagal berangkat, yang disinyalir disebabkan oleh pernyataan Kang Said tentang Wahabi.
Pernyataan Kang Sa’dun ini langsung diklarifikasi oleh Cak Fuad. Bahwa sebab itu tidaklah benar. Yang sebenarnya terjadi hanyalah kesalahpahaman. Ada seorang oknum pengacau yang memiliki kepentingan pribadi, mengambil keuntungan dan peruntungan. Oknum inilah yang malah dipercaya menjadi perantara komunikasi antara Kedutaan Saudi, sebagai wakil penyedia beasiswa, dengan NU yang mendapat kesempatan beasiswa.
Sebab yang sebenarnya, pihak kedubes Saudi Arabia untuk Indonesia mengundang Kang Said makan siang melalui oknum tersebut. Pada jamuan makan siang tersebut, dubes Saudi sudah menyiapkan makanan kesukaan Kang Said. Namun, ternyata Kang Said tidak datang. Bukan apa. Karena memang beliau tidak tahu, sebab undangan tersebut tidak disampaikan oleh sang oknum. Akibat ketidakhadiran Kang Said, dubes Saudi kecewa dan marah. Imbasnya, pemberangkatan para kader NU calon penerima beasiswa pun dibatalkan.
Sementara beasiswa kali ini adalah murni dari Cak Cholis Fuad Mutamakkin sendiri yang dipercaya oleh pihak Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh Saudi secara pribadi. NU dalam hal ini diwakili oleh LPTNU hanya sebagai mitra formalitas yang menjadi persyaratan penerimaan beasiswa.
Jakarta, 23/01/2015-Cirebon, 27/02/2015

Wednesday, February 25, 2015

Catatan Jumat (bagian 2)

Adzan kedua Jumat telah dikumandangkan. Temponya lebih cepat daripada yang pertama. Sebelumnya, sang muadzin kedua yang konon disebut muraqi ini membacakan (tepatnya melantunkan) teks sebuah hadits riwayat Abu Hurairah ra dengan berbahasa Arab, hadits tidak asing lagi bagi para santri dan ahli hukum Islam.
عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((فإذا صعد الخطيب على المنبر فلا يتكلم، وإذا قلت لصاحبك "أنصت" والإمام يخطب فقد لغوت، ومن لغا فلا جمعة له)). أنصتوا واسمعوا وأطيعوا! رحمكم الله.
Demikian kira-kira bunyi Hadits tersebut. Ia memuat tentang adab Jumat, khususnya terkait dengan menyimak khutbah. Bila khatib telah naik mimbar, diamlah, menengo, sumpelen cucukmu, jangan bicara. Siapa yang bicara, sia-sialah shalat jumatnya. Pun, yang bilang,"diam!" pada kawannya yang bicara, sama saja, sia-sia. Begitu kira-kira terjemahan bebasnya.
Seremoni semacam ini kerap kita temui di masjid-masjid kaum tradisional di Indonesia (baca: NU). Memang, dalam sejarah hukum Islam di Arab sana, hal semacam ini tidak ditemukan. Boleh jadi, bagi sebagiab kalangan, ini dianggap bid'ah. Karena termasuk bagian dari ibadah, sehingga tak boleh ada penambahan. Lain halnya dengan ulama NU yang memandangnya sebagai ibadah ghair mahdhah. Memang, shalatnya ibadah mahdhah, tapi khutbahnya, selain mahdhah juga mengandung maqashid. Sehingga dahulu pun terjadi perdebatan apakah boleh berkhutbah dengan selain bahasa Arab, sementara jamaah tidak paham bahasa arab? 
Ritual pembacaan hadits tersebut, menurutku hanya sebatas tradisi, kearifan, yang bukan bagian dari ibadah mahdhah, sementara tujuan yang ingin dicapai (maqashid) sangat mulia. Yaitu tanbih, memberi peringatan kepada para jamaah agar menyimak khutbah, tidak sibuk dengan hal lain.
Hanya saja, yang menjadi catatan adalah, ternyata hadits tersebut tampaknya tidak dipahami oleh sebagian besar jamaah, sebab berbahasa Arab. Semestinya, bila tidak dianggap sebagai ibadah mahdhah, pembaca juga menyertakan terjemahannya, agar para jamaah bisa ambil manfaatnya dan mencernanya dengan baik. Sehingga tercapailah tujuan dari pembacaan hadits tersebut.
Karena kurang adanya kontekstualisasi, maka yang terjadi adalah seperti tadi siang. Di sampingku, tepat, seorang pemuda masih asyik BBMan, sementara khatib berkhutbah. Selain itu, seorang separuh baya, duduk di beberapa shaf di hadapanku, masih asyik memutar tasbihnya. Dan dua orang juga masih asyik berbincang santai, tanpa merasa berdosa..
Sementara Nabi saw bersabda," Siapa yang sia-sia, tiada shalat jumat baginya." Dalam hadits lain, disebutkan:
من مس الحصاة فقد لغا
"Siapa yang memainkan kerikil, sia-sialah shalat ia".
Bila diterjemahkan dengan konteks termutakhir menjadi:
"Siapa yang ngelus-elus batu akiknya, sia-sialah jumatnya.."

Sehingga, apapun yang menyibukkan dari menyimak khutbah, kecuali hal-hal tertentu yang diperbolehkan, seperti mengaminkan doa, dsb. Maka, hal itu dilarang. Kalau dahulu memainkan kerikil dan tasbih, maka pada zaman modern ini, kerikil itu bisa berupa hp, fb, bbm, whatsAp, game, path, line, wa'alihi wa ashabihi ajmain.
Semoga berguna. wallahu a'lam.

Cirebon, 20/02/2015

Catatan Jumat (Bagian I)

Adzan pertama Jumat telah dikumandangkan. Bergegas, para hadir yang sedari tadi khusyuk menyimak, menjawabnya dan berdoa setelahnya, hampir serentak berdiri untuk shalat sunnah. Ini amaliah khas kaum Nahdliyyin. Ini merupakan shalat sunnah qabliyah jumat. Bagi sebagian kalangan, ini bisa jadi akan disebut sebagai amaliyah bid'iyyah. Sebab, konon, Nabi saw dan para sahabat, generasi utama umat ini tidak pernah melakukannya. Sementara setiap ibadah harus ada contoh dan pendahulunya. Jika demikian, benarkah ini bid'ah?
Masalah ini, menurutku, paling tidak bisa dijawab dengan dua hal berikut:
Pertama, shalat ini diqiyaskan dengan shalat qabliyah Zhuhur. Dalam hal ini memang terjadi selisih pandangan antar para ulama. Ada yang melarang. Ada pula yang membolehkan. Masing-masing punya landasan dalilnya. Romi, dalam "Al-Qiyas fi Al-Ibadah..." (2010) menyebutkan sejumlah contoh qiyas dalam ibadah pada zaman Nabi saw (hlm. 96), yaitu ijtihad 'Amr yang mengkiyaskan tayamum dalam hadats besar dengan hadats kecil, qiyas aulawi hutang haji dengan hutang harta, qiyas kumur-kumur dengan mencium istri pada siang hari puasa. Selain itu, sejumlah sahabat juga menggunakan qiyas dalam ibadah sepeninggal Nabi saw. Seperti Ummu Athiyyah ra bab haid (HR. Al-Bukhari), Ibnu Umar dalam hal usapan tangan saat tayammum dg wudhu (HR. Ad-Daruquthni), dlsb.. 
Kedua, shalat tersebut diniatkan shalat sunnah mutlak. 
Pada dasarnya, shalat sunnah merupakan ibadah yang dianjurkan kapan saja, kecuali pada waktu-waktu yang diharamkan. Toh, itu bukan waktu yang diharamkan. Lagi pula, tidak selalu shalat sunnah itu bernama. Sebagaimana shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan Nabi saw ketika menghadapi suatu masalah. Sebagian orang menyebutnya dengan shalat hajat. Namun, bila suka, bisa saja kita menyebutnya shalat [anti] galau. Begitu juga dengan shalat Bilal, yaitu shalat dua rakaat yang dilakukan sahabat Rasul ini setiap kali usai berwudhu. Sebagian dari kita menyebutnya dengan shalat sunnah wudhu. Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam shaum (puasa). Ada puasa sehari, berbuka sehari. Kita kerap menyebutnya puasa Dawud. Karena ini puasa yang biasa dilakoni Nabi Dawud as. Teruskan sendiri, masih banyak contohnya. 
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam


Sunday, January 25, 2015

Wejangan Kyai Masdar FM

Di antara sekian banyak para Kuyaha (bentuk plural dari "Kiyai") PBNU dan senior di NU yang memberikan wejangan dalam rangka briefing bagi calon penerima beasiswa Magister dan Doktoral ke El-Imam Muhammad bin Saud Islamic University Riyadh-Saudi Arabia yang akan diberangkatkan beberapa saat lagi, tercatat nama seorang Ketua Syuriyah PBNU yang progresif dan kerap disebut sebagai kiyai liberal, tidak hanya oleh kalangan fundamentalis dan orang luar NU, namun bahkan tidak jarang kiyai internal NU pun menggugatnya, akibat “kenylenehan”nya. 

Barangkali kita ingat ada sebuah ide ‘aneh’ yang digulirkannya terkait dengan waktu pelaksanaan haji. Bila terbuka ruang ‘berbeda’ dengan sebagian gaya praktik haji Rasulullah, seperti terkait dengan perluasan area sa'i, bahkan saat ini ada lantai bawah tanah, lantai 2 dan seterusnya. Juga terbukanya ijtihad terkait dengan waktu pelaksanaan lempar jumrah. Maka, mengapa tidak mengadakan haji dan wukuf di Arafah secara bergiliran tanggalnya, toh bulan-bulan haji itu tidak hanya bulan Dzulhijjah, tetapi asyhurun ma’lumat  (pada bulan-bulan yang dimaklumi, yaitu Syawal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah). Hal ini karena melihat secara realitas, bahwa pelaksanaan beberapa wajib atau rukun haji dilakukan dalam waktu dan tempat yang bersamaan, dan ini menimbulkan banyak korban jiwa. Selain umat Islam yang hendak melakukan ibadah haji dari tahun ke tahun terus meningkat. Sehingga, kebijakan pembatasan kuota, dianggap bukan sebuah pilihan yang tepat. Tentu, ‘ijtihad’ ini ditentang banyak kalangan. "Haji saja sendiri pada luar bulan Dzulhijjah!" Tantang mereka, para kritikusnya. 
Selain itu, Kiyai yang terkenal dengan gerakan Islam emansipatoris ini juga pernah dianggap sebagai kiyai gender, tidak setuju dengan poligami, namun belakangan, beliau sendiri melakukan praktik poligami. Entah, apa latar belakangannya? Aku tidak tahu pasti. Anda tentunya sudah meraba-raba, siapa Kiyai yang aku maksud. Tiada lain, beliau adalah Kiyai Masdar Farid Mas'udi.

Pertemuan kami siang tadi (21/1/ 2015), dilaksanakan di ruangan beliau di markas PBNU Kramat Raya. Selain membahas tentang [a] variasi dan model perilaku keberagamaan, [b] urgensi berjamaah dan berjamiyyah, dan [c] urgensi mempelajari sejarah, di pertemuan singkat yang berlangsung sekitar satu jam, dimulai pukul sebelas ini, Kiyai Masdar juga menyampaikan ‘kuliah umum’ terkait minimal dua hal yang sempat kucatat. Bahasan ilmiah yang cukup serius. Yang pertama terkait dengan politik dan ketatanegaraan Islam, dan yang kedua adalah terkait dengan zakat. Kedua hal ini memiliki keterkaitan yang sangat erat.


Soal politik, beliau menjelaskan bahwa sejarah mencatat, bahwa Islam adalah agama yang sejak mula muncul telah bergumul dan tak terpisahkan dengan politik dan kekuasaan. Namun, pertanyaannya, mengapa terkait ilmu politik dan ketatanegaraan Islam, kok tidak berkembang?


“ini dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah dalam tataran realitas sejarah, praktik pemerintahan islam dilakukan secara monarkhi, melalui sistem pewarisan dan cenderung anti kritik. Kritik terhadap penguasa dianggap sebagai sebuah bentuk perlawanan, bid’ah, yang harus dibasmi. Bahkan, Imam Al-Mawardi, tatkala menulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, beliau berpesan, "buku ini jangan diterbitkan, kecuali setelah aku mati. Apa sebab? Ternyata, di antara isi buku tersebut adalah suksesi kekuasaan dilakukan oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, sebuah tim yang berkompeten untuk memilih, bukan berdasarkan sistem kewarisan, turun-temurun. Sementara inilah yang terjadi pada kala itu.” Demikian sekilas yang kutangkap dari penjelasan beliau.

“Khawatir, bila buku itu diterbitkan, bukan hanya jabatan hakim beliau terancam dicabut, bahkan nyawa beliau pun bisa saja melayang.” Lanjut beliau.

Kiyai Masdar juga menjelaskan tentang urgensi bertanah air (memiliki lahan dan kekuasaan) dalam dakwah. Tidak mungkin kita akan bisa berdakwah dengan baik, bila kita hidup di udara, tidak memiliki ikatan nasionalisme di bumi ini. Kita juga tidak akan bisa tenang, bilamana kita dalam kondisi konflik, peperangan, hidup dalam kengerian. Selain itu, relitas sejarah membuktikan bahwa penguasa dunia adalah yang akan menjadi pembawa nilai peradaban. Sehingga, bila kita menjadi bangsa yang kuat, niscaya akan memimpin dunia dan pada selanjutnya akan mudah menyebarkan nilai-nilai peradaban yang baik bagi dunia. Dan, ternyata, yang kuat secara ekonomi lah yang akan menguasai. Saat Uni Sovyet kuat dan berkuasa, ideologi komunisme lah yang berkembang di dunia. Saat Amerika menguasai perekonomian, kapitalisme dan liberalisme pun yang menggurita.


Bila dikelompokkkan, lima rukun Islam itu terbagi menjadi tiga, yaitu hubungan dengan Allah, hubungan dengan pembersihan jiwa dan berhubungan dengan sesama. Terkait dengan hubungan sesama, kita mengenal negara sebagai wujud dari sebuah kontrak perjanian untuk bersyerikat dan berkumpul antara warga masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa negara tidak akan berjalan, bila tanpa adanya anggaran pendanaan, dan anggaran tidak akan berguna bila tidak ada sumber pemasukan dana. Dan, undang-undang APBN-lah yang paling seksi dan strategis untuk dilirik. Mengapa, sebab inilah jantung negara.


Selama ini, pendapatan negara adalah dari pajak. Dan, sebenarnya di dalam Islam sudah terdapat instrumen pemasukan kas, di antaranya berupa sistem zakat, yang berbasiskan pada nilai keadilan dan kesejahteraan sosial. Bila zakat ini dikelola dengan baik dan maksimal, niscaya negara akan makmur. Dalam konteks perzakatan (perpajakan), sebuah negara ibaratnya seorang amil atau lembaga amil zakat, bukan pemilik harta. Negara hanya berfungsi sebagai penarik (al-akhdzu) dan distribusi (at-tasharruf) zakat. Sementara yang terjadi di Indonesia saat ini, belanja negara lebih banyak dihabiskan untuk menggaji aparat pemerintahan. Sedangkan rakyat kecil kurang mendapatkan ruang. Padahal, dalam Islam sudah jelas terdapat delapan golongan. Namun, yang diutamakan adalah fakir dan miskin. Sedangkan ‘amil’ (petugas zakat) hanya perantara antara muzakki dan mustahiq. Bagian petugas, semestinya hanya sebatas diberi ‘uang lelah’, tentunya lebih sedikit daripada fakir-miskin. Bukan sebaliknya.


Secara pribadi, ini adalah pertemuanku dengan beliau yang ke tiga. Yang pertama dan kedua adalah di kantor P3M Cililitan Kecil. Kali pertama aku bisa bertatap muka dengan beliau secara langsung tak lama setelah aku dipertemukan dan diperkenalkan oleh takdir, yaitu ketika beliau berdua sedang mengerjakan proyek alih-bahasa buku Pak Masdar berbahasa Indonesia yang bertajuk Zakat ke dalam bahasa Arab, sekitar tahun 2010 silam.


Sebelumnya, seorang kawan aktivis FK2, Wawan, secara tiba-tiba menyodorkan sebuah kertas berisi teks berbahasa Indonesia dan memintaku untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Katanya, itu sebuah ‘sayembara’. Akan dipilih beberapa orang yang nantinya diminta mengerjakan penerjemahan sebuah buku. Dan, alhamdulillah, aku termasuk di antara mereka. Akhirnya, aku pun diminta Wawan agar datang ke Cililitan bergabung bersama kawan-kawan lainnya. Inilah kali pertama perkenalanku dengan Cak Fuad, setelah sebelumnya sempat dipertemukan dalam sebuah forum di Albayyinah Buncit Pulo bersama dengan Gus Chollil Nafis dan kawan-kawan FK2. Di kantor P3M, Pak Masdar menjelaskan secara singkat inti pemikirannya yang dituangkan dalam buku yang sudah beberapa kali naik cetak dan diterbitkan ulang oleh beberapa penerbit yang berbeda-beda, juga dengan judul yang tidak sama. Terkait judul buku, pernah aku mendengar penjelasan dari Pak Masdar, sengaja diubah karena para pembaca yang kurang memahami inti pemikiran yang beliau harapkan. Menurut catatan, telah banyak karya tulis ilmiah yang mengkaji pemikiran Zakat beliau, tidak hanya skripsi dan tesis, tapi disertasi.


Pertemuan berikutnya adalah terhadap pemikiran beliau, khususnya saat mengikuti mata kuliah tentang Manajemen Zakat di kampus Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati yang diampu oleh Dr Mukhlisin Muzarie. Saat membuat makalah, aku sempat mengutip pendapat beliau dalam bukunya sebagai bahan makalah kelas tentang macam-macam mal zakawi (barang-barang yang dizakati). Tidak sekali dua kali dosen pengampu mata kuliah itu ku ini mengutip pemikiran Pak Masdar. Selain beliau adalah Prof Khozin Nasuha, yang merupakan rektor ISIF Cirebon, kerap mengutip ide-ide berani Pak Masdar di dalam perkuliahan beliau dan juga menyanjung keberaniannya. Kendatipun Pak Masdar kerap ‘dikepruki’ oleh banyak kalangan dan bahkan katanya pernah dilempar sandal dalam sebuah forum karena kenlenehan pandangannya dari status-quo yang mainstream.


Pada kesempatan siang tadi, Pak Masdar juga menjelaskan bahwa terkait dengan “batasan” dalam agama Islam terkait kebaikan, penjelasan teks syariat hanyalah batasan minimun. Artinya, boleh membayar zakat lebih dari batasan yang ditentukan. Dalam bahasa UU di Indonesia, serendah-rendahnya. Sedangkan terkait dengan hukuman (hudud), yang ada adalah batasan maksimum. Dalam bahasa UU di Indonesia, setinggi-tingginya. artinya, bisa lebih ringan daripadanya. Tapi tidak boleh melampaui batasan ini. Terkait dengan ini, Pak Masdar tidak menjelaskan lebih lanjut tentang nalar Ushul Fikihnya. Mungkin karena keterbatasan waktu.


Selain itu, terkait mal zakawi (harta yang waib dizakati) juga bisa masuk ranah ijtihad. Dahulu, di Arab ada zakat onta, lah di Indonesia kan tidak ada. Soal ini, disesuaikan dengan kondisi masa dan tempat. Secara singkat, zakat dibagi menjadi dua, yaitu zakat harta benda (mal) dan zakat fitrah (jiwa). Terkait hal ini, ada sebuah kaidah utama dalam Al-Qur’an tentang zakat yang kerap dikutip oleh Pak Mukhlisin, yaitu mimma kasabtum wa mimma akrajna lakum minal ardh (dari hasil usaha kalian dan yang kalian dapatkan dari hasil bumi).


Karena sudah cukup panjang, dan mata ini sudah terasa berat, ingin segera terpejam, cukuplah sekian dulu. Semoga bermanfaat.[]

Jakarta, 21 Januari 2015_23:

Menulis Itu Sederhana

Menulis, itu sederhana. Bermodalkan sesuatu yang gratisan bernama keMAUan dan eksekusi. Langsung tulis tanpa mikir apa yang mau ditulis. Karena ujung jemari akan berjalan dengan lincah dan begitu apiknya. Semakin enggan untuk berhenti bila ia sudah masuk melangkah dalam ruang samudera kata yang tak bertepian. 
Ah, ini hanya igauan lebay, mungkin. Tapi, berasaskan pengalaman bebas tanpa buku panduan kurikulum yang rajin berganti seirama dengan pergantian kuasa politik, dan berganti menteri.. 
Menulis itu hanya pem-BIASA-an.
Dulu, sewaktu sejarah takdir kehidupan memaksaku tuk masuk ke usia pubertas dan kujatuhkan pilihan pada MA Tabah, aku merasa tak bisa menulis apa. Mengarang dalam PELAJARAN bahasa Indonesia, pun juga soal esai menjadi momok, hantu yang amat menakutkan, bagiku. Entah, apa sebab? Barangkali karena kala itu belum waktunya. Ya, hanya soal waktu, sederhananya. Kalau tak ada pengalaman ‘pahit’ tentu tidak terasa indah hikmahnya.
Dulu, aku mengira, menulis itu bakat. Yang hanya domain mereka yang pandai dan sedari kecil terlahir cerdas. Ternyata asumsiku salah. Para penulis hebat dunia mengatakannya. Menulis adalah sebuah proses belajar. Tak ada kata final.
Adalah Prof Dr Imam Suprayogo, sang manatan rektor UIN Malang, pantas menjadi teladan bagi kita dalam tulis menulis, walau dengan kesibukan aktifitasnya yang amat padat, ia masih sempatkan nulis secara istiqamah setiap (pagi) hari selepas subuh dan tadarus pagi. Ya, istiqamah, setiap hari. Meski, katanya, hanya tulisan sederhana, tanpa rancangan ataupun outline, sebelumnya. Sementara aku, masih angin-anginan. Kalau mau ya nulis, bila enggan ya cuma scrolling status-status fb dan ngiler lihat catatan orang. 
Menulis, selain bermodal keMAUan, ternyata juga harus didukung oleh KEBERANIAN tuk ungkapkan gagasan. Ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran pun kerap jadi pengHALANG berat yang harus dilawan.  Takut salah tanda baca, takut tidak enak dibaca, takut menjadi bulan-bulanan pembaca. Ah, namanya dunia sosial, interaksi dengan sesama. Itulah seninya. Tak pengkritik dan pengamat, tidaklah indah dan seimbang dunia. Sadari, bahwa menulis itu tak ada pakem idealnya. Setiap penulis punya gaya uniknya, berbeda satu dengan yang lainnya. Meniru gaya bisa saja, tapi tetap ada ciri khasnya. Tak ada kesamaan yang sempurna. Karena kita dan dunia memang dicipta berbeda. Karena itu, menulislah.

Jakarta-Cirebon, 24-25/01/2015

Bidadari Senja

::::::::::::::::::::::::

Engkau masih
dan tetap saja
tampak ayu
menawan
mataku layu
tegangkan
urat syahwat kaku

meski waktu telah memaksamu
berkepala sudah lima puluh

parasmu masih tampak mempesona
senyummu begitu menggoda

aku, dia, mereka para jejaka muda
diam-diam terpana asmara
Sungguh, usia hanya waktu
Sebab
ia tak jua merenggut
kecantikan parasmu

Andai tak ada dogma
atau tata adat agama
ia, aku, mereka
kan ungkap hati
dengan kata indah
pujimu yang memesona
Boleh Kau kata ini liar penuh dosa
tapi rasa tak apa disejarah
daripada hangus terbakar masa
KAI Kertajaya, 24/01/2015

Ulasan Hasil Tantangan Menulis Bareng SLI di Hari Guru Nasional

Hasil Tantangan #NulisBarengSLI #HariGuruNasional2020 #SahabatLiterasiIAICirebon Beberapa hari yang lalu (23/11/2020) aku atas nama pribad...