Oleh Masyhari, Lc
Menulis adalah suatu aktifitas yang
mulia. Karena itu, menjadi seorang penulis merupakan harapan dan sekaligus
cita-citaku, selain menjadi pengamal sedikit ilmu yang sedang dan telah
dipelajari. Entah sejak kapan tepatnya, cita-cita, minimal keinginan ini
muncul? Kalau tidak salah, sejak aku masih mengenyam studi di bangku Madrasah
Aliyah (setingkat SMA). Sejak aku suka membaca artikel-artikel ataupun sebatas
berita, di koran Jawa Pos yang setiap harinya selalu update di mading
OSIS MA Tabah. Hanya saja, saat itu, keinginan itu masihlah sangat jauh untuk kugapai.
Mengapa demikian?
Menulis, atau dalam bahasa dulu disebut “mengarang” termasuk
‘materi pelajaran’ yang saya takuti. Mengarang adalah momok, minimal bagi saya.
Setiap kali ada pelajaran mengarang dalam bahasa Indonesia, atau pelajaran apa
saja yang bentuk ujiannya esai, sudah pasti seakan ia hantu yang sangat
menakutkan.
Yang ada di benakku, saat itu, mengarang bukanlah
pekerjaan yang mudah. Karena mengarang adalah menciptakan sesuatu yang sama
sekali baru. Maksud saya, walaupun materi atau isi tulisan bukan barang baru,
tapi paling tidak, diungkapkan dengan bahasa lain yang sama sekali baru.
Benar-benar pekerjaan otak kanan, yang lebih dominan kreatifitas dan imajinasi
yang bersifat berkembang dan tidak statis. Saat itu, saya memang sama sekali
merasa tidak berbakat untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Entah
mulainya dari mana? Bagaimana rentetan atau sususan antar paragraf, bahkan
bagaimana merangkai dan menyambung antar kata? Sama sekali blank bagi
saya, saat itu, semoga tidak untuk saat ini.
Setiap ada perlombaan tulis menulis, entah itu KIR (Karya
ilmiah Remaja) ataupun resensi tingkat lembaga, aku hanya gigit jari. Harus puas
sebagai penonton semata. Selepas lomba perlombaan, biasanya aku akan
menyempatkan untuk ‘mencuri’ tahu karya tulisan para peserta untuk sekedar saya
baca sekilas saja. Ketika membaca itu, saya terkagum dan sekaligus heran dengan
penulisnya. Bagaimana mereka, yang notabene seumuranku, bahkan ada juga adik
kelasku, yang bisa merangkaikan kata demi kata menjadi satu tulisan utuh? Saat
itu, yang terpikir olehku hanya, mungkin mereka memang cerdas dan berbakat
menulis, sementara aku tidak.
Akan tetapi, anehnya, meskipun bukan yang merasa bisa
menulis, namun saat itu aku beberapa kali menulis surat pribadi, untuk teman
dan kenalan baru. Aku sempat beberapa kali menulis surat pribadi untuk mereka,
sekedar bercerita, dan lain sebagainya. Entah mengapa kok bisa?
Pikirku, mungkin ini tulisan bebas dan tidak ada
pakemnya, sehingga aku bisa semauku untuk mengungkapkan apa yang ingin saya
ungkapkan, menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Barangkali, jawaban dari
pertanyaan “mengapa tulis menulis dan mengarang menjadi momok bagiku, dan
mungkin juga bagi beberapa temanku yang lain” adalah karena (1) menulis
dianggap sebagai pelajaran dan pekerjaan yang mengharuskan pelakunya untuk
mengikuti pakem dan aturan tertentu, stuktur susunan kalimat, diksi dan lain
sebaginya. (2) menulis sering dibahasakan dengan mengarang, sehingga yang
terkesan adalah sulitnya. Padahal kalau mau, sebagai guru bahasa Indonesia,
agar seratus persen, minimal mayoritas, dari anak didiknya bisa jadi penulis, cukup
ajak mereka menulis apa saja yang ingin ditulisnya mulai dari hal-hal yang
sederhana; menulis diari, catatan harian, surat kepada sahabat atau orang yang
ingin diajaknya bicara, menulis tentang apa yang dia inginkan dan lain sebagainya.
Menulis butuh kepercayaan diri dari calon penulis, agar
ia berani mengungkapkan sesuatu dan merangkaikan kata-kata ‘hati’nya ke dalam
bentuk tulisan. Sehingga, untuk menumbuhkan kepercaaan diri sesorang bahwa
menulis bisa dilakukan oleh setiap orang, perlu dimulai dari hal-hal yang
dianggap remeh, paling sederhana dan mudah. Karena yang terpenting, bagi
pemula, adalah munculnya keyakinan diri, bahwa AKU BISA. Apabila keyakinan ini
sudah muncul pada diri seseorang, ia akan tidak ragu-ragu untuk menuangkan
gagasannya dalam bentuk tulisan. Tidak perduli apakah tulisannya sesuai dengan
kaidah tata bahasa atau tidak. Tidak peduli, tepat atau tidakkah diksi yang
dipilihnya. Tidak peduli, apakah antar satu kata dengan kata lainnya nyambung
atau tidak. Tidak peduli, antar satu paragraf dengan yang lainnya saling
memiliki keterkaitan atu tidak. Yang terpenting adalah, aku bisa menulis. Untuk
memecahkan mitos yang menyatakan “menulis hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
pilihan, hanya orang-orang yang cerdas dan berbakat”. Padahal faktanya,
tulis-menulis adalah proses menuju dan keahlian yang harus dicapai dengan membiasakan
tiga hal, yaitu latihan, latihan dan latihan. Mungkin, inilah yang ingin
ditekankan oleh Natalie Goldberg, pencetus metode “menulis bebas” dalam
“Alirkan Jati Dirimu” (MLC, Bandung: 2005). Buku inilah yang menurut saya
paling menarik dan paling berpotensi untuk membuat seseorang menjadi penulis,
yaitu dengan menghilangkan “momok” itu sendiri. Menulis bukan pelajaran, bukan
pekerjaan, akan tetapi melepaskan beban dan kegundahan hati. Menulis merarti
mengungkapkan sesuatu yang mengendap dan selama ini tersimpan dalam hati, yang
bila tidak dituliskan akan menjadi kegalauan stadium tiga dan menurun hingga
tujuh turunan. Saya tidak membayang betapa akutnya itu.
Bukti betapa besarnya harapanku untuk bisa menjadi
penulis adalah beberapa buku terkait dengan kepenulisan aku beli, satu persatu,
diantaranya (1) “Kiat menjadi Penulis Sukses” karya Abu Al-Ghifari, yang kubeli
02 Maret 2005, (2) “Menulis Artikel itu Gampang”, karya Nurudin (3) “Proses
Kreatif Penulis Hebat”, karya kompilasi para novelis dan cerpenis, yang diterbitkan
DAR MIZAN, keduanya kubeli tanggal 13 Maret 2005 di Gramedia Blok M, (4) “Dasar-Dasar
Meresensi Buku”, karya Daniel Samad, yang kubeli di arena IBF Jakarta, 4 Shafar
1427 H, (5) “Menulis Diari, Membangkitkan Rasa Percaya Diri, dari kompetisi
menulis catatan harian Penerbit Kaifa yang diterbitkan atas komando Hernowo, di
MLC, (6)“Alirkan Jati Dirimu”, Natalie Goldberg, yang kubeli di Gunung Agung Kwitang,
01 Januari 2006, selain buku-buku lain yang masih terkait denga kepenulisan.
Nah, buku kedua terakhir ini, yang paling banyak memberi pengaruh bagi saya,
sekaligus menggugahku bahwa menulis itu mudah. Menulis itu bisa dilakukan oleh
siapa saja. Buku-buku ini aku beli, tentunya, agar aku bisa tercerahkan dan
bisa menjadi penulis.
Setelah membaca buku-buku tersebut, muncul satu
kepercayaan, paling tidak satu pemahaman, bahwa menulis bukanlah bakat. Menjadi
penulis bukan seperti satria baja hitam yang cukup ucap “berubah”, lalu kita
akan menjadi penulis seketika itu. Untuk menjadi penulis, tidak mungkin bisa
kita meminta alat dari kantong ajaib Doraemon, yang akan bisa menjadikan kita
sebagai penulis secara instan. Menulis, sekali lagi, adalah proses. Tidak
seorang pun penulis, yang bertaraf Internasional dan paling produktif pun,
terlahir sebagai penulis, artinya ia lahir langsung bisa menulis, tentu tidak
ada.
Menurut Saut Sitompul dalam kompilasi puisinya “Tulis”,
yang kudapatkan Cuma-cuma saat peluncurannya di teater kecil TIM Jakarta, 24
Pebruari 2006. Ia menulis:
//Tak usah terlalu di pusingkan
bagaimana cara menulis
puisi
Cukup dengan pena di tangan
berjongkok di taman
ada daun jatuh
tulis
ada
rumput menghijau tulis
ada tanah terbakar
tulis
da anak pipit terjatuh dari
sarangnya
tulis
ada bau mesiu
tulis
tulis
tulis
tulis
ada hujan
tulis
ada
titik-tikik terang
tulis
lalu aduk dengan kelepak
ladam telapak kuda
sedikit
cukup cukup cukup
nah ini ada puisi
dalam puisi ini ada bunyi
bunyi
kecapi atau cemeti
itu tak penting
dalam pusi ini juga ada bau
bau ubi bakar
atau babi panggang
itu juga tak penting
tapi ini puisi berbunyi
tang! 1978.
Barangkali, Saut dan juga Natalie, bisa dikatakan
‘berhasil dalam memberikan corak baru dalam kepenulisan. Nah, mulai menulis secara
bebas, seakan tiada aturan yang mengikat kita, sehingga kita bisa berbuat apa
saja dengan pena dan tulisan kita. Tidak peduli bila tulisan itu tidak sesuai
dengan kaidah bahasa, tidak memperhatikan kaidah atau bahkan melawannya.
Selain menulis surat, tulis menulisku kuaktifkan dengan
menulis buku diary, catatan harian, mungkin sekitar 10 buah buku diary kecil
yang sudah aku hasilkan, tentu dengan pakem bebas. Yang terpenting adalah bisa
menulis. Itu rumusku. Kegiatan tulis-menulisku semakin aktif semenjak
merebaknya ponsel (hp) yang memiliki konten SMS, yang tiada lain adalah
mengirim pesan melalui tulisan. Meskipun disebut short, pendek, tapi
kita bisa menulis sepanjang karakter yang bis dimuat hp kita. Sms ini cukup
mengasah ketrampilan kita untuk menuangkan gagasan atau sekedar mengungkapkan
isi hati. Kemudian, setelah muncul jejaring sosial berupa fb (face book),
tulis-menulis bebas semakin terwadahi. Siapa pun ingin menulis, secara bebas ia
bisa tuliskan, baik melalui dindingnya sendiri, dalam status, dalam catatan fb,
atau berupa personal Message/ chat. Meskipun sebenarnya, sebelum adanya sms dan
fb, sudah marak namanya blog. Bahkan, banyak sekali media nasional yang online
yang menyediakan kolom menulis bebas selayaknya blog, seperti kompasiana dan
lain sebagainya. Saya kira, media-media semacam ini sangat efektif untuk
membuat orang menjadi penulis, khususnya bagi guru bahasa untuk mencetak
muridnya menjadi penulis dan pengarang.
Memang, saat ini aku sendiri belum menjadi penulis
artikel atau yang lainnya yang dimuat di media massa, ataupun buku yang
diterbitkan. Barangkali, alibi saya masih merasa belum mampu untuk menulis, dan
untuk mengisi kekosongan ini, cita-cita tersebut, untuk sementara, saya arahkan
dengan menerjemah buku. Dengan harapan, semoga dengan banyak membaca dan
kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, saya akan banyak belajar
teknik kepenulisan, melatih kepiawaian dalam merangkai kata, menuangkan ide-ide
dan gagasan saya nantinya, dan tentunya akan banyak menambah wawasan yang saya
petik secara materil, sebagai bahan yang bisa dituliskan nantinya. Semoga.
Cirebon, 12/11/2013, pada 01.00-03:35 (WIB) Waktu
Indonesia Babakan